Sabtu 14 Nov 2020 09:57 WIB

Runtuhnya Baghdad dan Perilaku Profan Elite

Penguasa turut andil dalam mempertahankan eksistensi sebuah peradaban.

Pengepungan Baghdad 1259 M.
Foto: wikipedia
Pengepungan Baghdad 1259 M.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah*

Alf Lailah wa Lailah, sebuah epik yang diklaim karya Abu Abdullah bin Abd al-Jasyayari itu cukup menggambarkan tentang kemegahan dan kejayaan Kota Baghdad di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Karya yang konon merupakan saduran dari cerita asal Persia yang bertajuk “Hazar Afsanah” (Seribu Legenda) itu, mengambil latar belakang Baghdad yang menawan dan eksotis.

Ada figur-figur yang dihormati dalam karya sastra itu, antara lain Harun al-Rasyid dan penyair tersohor Abu Nawas. Baghdad selama masa keemasannya pada abad ke-7 hingga 12 M merupakan simbol kegemilangan peradaban. Infrastruktur berdiri megah, ilmu pengetahuan berdiri tegak, dan terjadi interaksi yang kuat lintas peradaban. Baghdad menjadi Madinat as-Salam, Kota Kedamaian.

Tetapi, kejayaan Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah selama hampir lima abad tersebut, hangus dalam waktu kurang lebih sebulan. Peristiwa tersebut sekaligus mengakhiri pemerintahan multinasional Islam selama beberapa dekade. Keruntuhan Baghdad menyisakan catatan kelam sepanjang sejarah Islam.

Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan membumihanguskan kota yang juga dikenal dengan sebutan Kota Bulat ini pada 1258 M. Langit Baghdad menjelma pekat. Aroma Sungai Tigris anyir dan airnya yang jernih memerah dialiri darah manusia dan memekat akibat darah serta tinta ribuan buku yang ditenggelamkan.

Mongol nyaris tak menyisakan korban selamat. Mereka yang berhasil sembunyi di tumpukan mayat atau di irigasi-irigasi yang berada di Baghdad, termasuk juga mencari keselamatan di sumur-sumur, harus berhadapan dengan wabah kolera. Tak banyak yang bertahan.

Lantas, bagaimana dengan Khalifah al-Mu'tashim? Perlakuan Mongol terhadap penguasa terakhir Dinasti Abbasiyah itu juga tak kalah kejam. Ia dipisahkan dari keluarganya. Anak-anaknya diasingkan ke Samarkand tanpa meninggalkan jejak apa pun bagi dunia Islam. Al-Mu'tashim merana. Hulugu Khan menawannya tanpa makanan. Bahkan, Sang Khalifah dipaksa untuk memakan pundi-pundi emas yang selama ini ia timbun. “Bagaimana mungkin aku memakan emas?” kata al-Mu'tashim. “Jika engkau sadar tak bisa memakan emas, mengapa engkau menimbun dan tidak membagikannya ke bala tentaramu agar mereka mempertahankan singgasanamu dari serangan tentaraku?” jawab Hulagu.

“Semua itu adalah takdir Allah SWT,” kilah Sang Khalifah. “Dengan begitu, apa yang menimpa dirimu juga takdir-Nya,” ketus Hulagu.

Selama kurang dari sepekan, Sang Khalifah ditahan tanpa makanan dan minuman hingga akhirnya meninggal dunia. Jasadnya dibungkus dengan karpet dan diikat lalu dibiarkan terinjak-injak oleh kuda-kuda Mongol. Al-Mu'tashim meninggal bukan akibat tebasan pedang. Mongol memang menginginkan demikian. Dalam tradisi dan kepercayaan mereka, darah penguasa tidak boleh tersentuh dengan tanah.

Tragedi Baghdad menyisakan kisah pilu bagi dunia Islam. Ujian yang teramat berat. Kesedihan dan duka mendalam dirasakan oleh Muslim di berbagai wilayah saat itu. Luka dan lara di relung hati yang paling dalam tergoreskan lewat susunan kata dan frase. Tak sedikit sastrawan yang meluapkan kesedihan menggunakan cara mereka, berpuisi, dan berprosa.

Lewat gubahan syairnya yang terkumpul dalam kasidah yang bertajuk “Fi Ratsai Baghdad”, Syamsuddin al-Kufi (1226-1276 M) meluapkan betapa ia sangat terpukul dengan peristiwa tragis tersebut. Dalam kepiluannya, al-Kufi menulis:

Rumah..rumah..di mana mereka tinggal

Kemana keagungan dan kebesaran itu

Wahai rumah kemana kemuliaanmu

Dan panjimu yang terhormat dan agung itu

Wahai orang yang telah pergi dalam hati dan rusukku

Terdapat cahaya yang tak akan pernah padam karena kepergian kalian

 

Meski al-Kufi teramat larut dalam kesedihan, ia harus berbuat sesuatu. Jasanya tercatat sejarah, ia membeli anak-anak yang ditawan Mongol dan merawat mereka.

Keruntuhan kejayaan Islam di Baghdad memang tinggal sejarah. Tetapi, sejarah adalah cermin bagi generasi mendatang. Tumbangnya peradaban Islam di Baghdad memberikan pelajaran tentang banyak hal.  Tetapi yang terpenting menurut Ibnu Khaldun, sebagaimana dikutip dalam magnum opus-nya “Muqaddimah”, konsistensi merupakan kunci eksistensi sebuah peradaban.

Jika Tuhan berkehendak memberangus peradaban, mereka akan diuji dengan seberapa konsisten dan komitmen dalam memegang nilai dan moralitas. Analisis yang sama dia sampaikan tatkala mengomentari tumbangnya kejayaan Islam di tanah Spanyol. Ibnu Khaldun cenderung menekankan persoalan yang dihadapi umat sebenarnya tak melulu selalu serangan luar, tetapi yang paling utama adalah imunitas terhadap penyakit penyakit moral saat kekuasaan berada sedang di puncak. 

Seberapa kuat imunitas inilah yang akan berkelindan dengan faktor kehancuran lainnya, yaitu serangan luar. Toh bukan sekali itu Baghdad menghadapi potensi serbuan musuh. Terdegradasinya moral elite Baghdad, sebagaimana tergambar di banyak referensi sejarah primer, adalah pelecut terhadap generasi sekarang betapa pemimpin dan penguasa turut andil dalam mempertahankan eksistensi sebuah peradaban. Alquran surat al-Isra’ menyebut elite sebagai kunci dengan bahasa mutrafun, bisa bermakna pemimpin, elite pemodal, bahkan juga mencakup elite agama.

Dalam Majalah al-Manar saat mengomentari tentang minuman keras, cendekiawan Muslim Rasyid Ridha mengatakan, dalam tatanan yang berlaku di masyarakat dan sunnah peradaban, sudah barang pasti, mereka akan mengikuti perilaku elite dan raja mereka: gonjang-ganjing di kalangan elite itu pulalah yang berpengaruh pada level bawah.

Rasyid Ridha mengomentari hadits yang sekalipun lemah sanadnya, yaitu an-naasu ‘ala dini mulukihim, tetapi secara makna dan realitanya tak bisa terbantahkan, terlebih di pemerintahan otoriter dan diktator. Sudahkah sesama anak bangsa saat ini belajar dari sunnah peradaban masa lalu?

*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement