Jumat 13 Nov 2020 16:55 WIB

6 Alasan Mengapa Herd Immunity tak Bisa Akhiri Pandemi

Epidemiolog mengatakan mengejar kekebalan kelompok tanpa vaksin tak akan berhasil

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Gita Amanda
Ilustrasi Covid-19
Foto: Pixabay
Ilustrasi Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu cara mengakhiri pandemi dengan menerapkan herd immunity atau kekebalan kelompok. Jika tercapai, virus Covid-19 tidak akan menyebar dan kehidupan normal dapat berjalan kembali.

Sayangnya kekebalan kelompok sulit dilakukan. Ini hanya dapat dicapai dengan dua cara, yaitu membuat banyak orang sakit atau memberi banyak orang vaksin yang efektif dan aman. Tujuannya sama, untuk mendapatkan sebagian besar populasi yang resisten terhadap infeksi, sehingga suatu penyakit tidak dapat lagi menyebar.

Menurut konsensus di antara ahli epidemiologi mengejar kekebalan kelompok tanpa vaksin tidak akan berhasil. Sebab, akan berisiko terlalu banyak kematian. "Untuk orang yang berusia di bawah 60 atau 50 tahun, bahaya lockdown secara mental dan fisik lebih buruk daripada Covid-19," kata salah satu penulis deklarasi pekan lalu, selama debat yang diselenggarakan oleh jurnal medis JAMA, Dr. Jay Bhattacharya.

Sedangkan ahli epidemiologi, Marc Lipsitch dari Harvard menjelaskan mengapa pendekatan tersebut sangat berbahaya. "Saya pikir itu ide yang bagus untuk mencari solusi kreatif, tetapi tidak ada yang bertanggung jawab untuk mengendalikan penyebaran virus," kata Lipsitch, dilansir Business Insider, Jumat (13/11).

Dari percakapan mereka, muncul enam alasan utama mengapa mencapai kekebalan kelompok yang tidak didampingi vaksin tidak akan berhasil.

1.Tidak ada yang berpikir untuk membuat orang terinfeksi adalah ide bagus

Para pemimpin di Swedia baru-baru ini tidak lagi menerapkan kekebalan kelompok karena merenggut nyawa banyak orang di panti jompo mereka. Bhattacharya memeriksa Swedia sebagai contoh baik dari kekebalan kelompok yang dilakukan dengan benar. Namun, dia setuju membiarkan siapa pun dalam populasi sakit untuk meningkatkan resistensi penyakit di masyarakat bukanlah ide yang baik.

“Seharusnya jarak sosial kalau bisa dan pakai masker. Semua tindakan mitigasi sangat penting,” ujar dia. Bahkan pendekatan Swedia tidak mengikuti apa yang disarankan oleh Deklarasi Great Barrington, yaitu perlindungan terfokus untuk yang rentan dan infeksi, tapi terfokus pada kaum muda dan sehat.

Masalahnya, ide-ide itu sudah dicoba di seluruh AS. Nevada telah menemukan protokol pengujian cepat federal AS yang baru di panti jompo. Tenaga kerja panti jompo yang sudah menyebar mulai sakit dan isolasi kasus hampir tidak mungkin dicapai dalam pra-fase gejala, ketika orang mungkin menularkan virusnya ke orang lain bahkan sebelum mereka menyadarinya.

2. Covid-19 memiliki banyak efek samping

Gagasan pada perlindungan terfokus ini sebenarnya membuat masyarakat tidak tahu siapa yang perlu dilindungi. "Untuk populasi yang lebih muda dan orang-orang yang kurang berisiko, Covid-19 lebih kecil risikonya daripada penguncian," kata Bhattacharya.

Dia menegaskan gagasan itu malah membahayakan kesehatan psikologis, mental, dan fisik orang. Tapi Covid-19 tidak hanya membunuh orang melainkan memiliki efek jangka panjang yang membunuh penyintasnya. Termasuk kabut otak yang melemahkan, rambut rontok, jari kaki bengkak dan ruam bersisik, tinitus, dan hilangnya penciuman. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) mencatat hampir setengah 45,4 persen populasi orang dewasa di AS berisiko terkena komplikasi Covid-19, termasuk kematian.

3. Kita sebenarnya tidak tahu virus mentargetkan siapa korbannya

Argumen untuk perlindungan terfokus juga mengabaikan kenyataan dari apa yang telah kita pelajari tentang virus corona. Virus telah membunuh orang dari segala usia, ras, dan jenis kelamin. Menurut CDC, lebih dari 45.500 orang di bawah usia 65 telah meninggal akibat virus corona hingga saat ini.

Tidak mungkin untuk mengetahui, sebelum seseorang terinfeksi apa risiko sebenarnya. Sejumlah anak telah meninggal begitu pula mahasiswa yang belum tentu memiliki prasyarat ciri khas. Para ilmuwan masih mempelajari virus untuk lebih memahami cara kerjanya.

4. Lockdown atau pembatasan sosial menyelamatkan nyawa

Lockdown merupakan tindakan yang telah menyelamatkan puluhan ribu nyawa di seluruh dunia, di hampir setiap benua. Tapi, ada konsekuensi yang merugikan.

Banyak orang kehilangan pekerjaan, menutup bisnis mereka, melewatkan janji dengan dokter, mengalami lebih banyak kesepian, dan mulai minum lebih banyak alkohol. Saat sekolah tutup, lebih banyak anak yang kelaparan dan aktivitas pendidikan juga terganggu. Pelecehan dalam rumah tangga, pelecehan anak, penyalahgunaan zat, dan ide bunuh diri telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir di AS.

5. Menyingkirkan virus itu mungkin dan tidak perlu membunuh orang

Pendekatan ini atau tidak memperhitungkan seberapa banyak tindakan mitigasi seperti menjauhkan diri, menghindari keramaian, dan membuat semua orang mengenakan masker benar-benar dapat membantu memperlambat penularan virus. Selain itu, AS belum pernah mencoba lockdown. Baru secara fungsional menutup sekitar 50 persen.

Negara-negara termasuk Australia, Selandia Baru, dan China telah mencapai tujuan, yaitu nol atau mendekati nol Covid-19. Sebagian besar telah kembali ke kehidupan normal setelah lockdown. Taiwan bahkan melakukannya tanpa mengunci sama sekali dengan melembagakan tindakan penyaringan dan pengawasan ketat, isolasi dan karantina yang efektif, dan penyamaran yang meluas.

6. Kekebalan keompok alami mungkin tidak akan berhasil untuk pandemi

AS masih harus menempuh jalan panjang untuk mencapai kekebalan kelompok yang paling rendah sekalipun, yang mengharuskan 50 persen atau lebih populasi terpapar dan kemudian kebal. Paling tidak hanya sekitar 10 persen hingga 20 persen orang di seluruh negeri yang terpapar.

Tetapi bahkan jika semua orang terpapar virus, kekebalan kelompok alami kemungkinan masih tidak akan berfungsi. Sebab, cara kekebalan terhadap semua virus corona berkurang seiring waktu.

Itulah mengapa para ilmuwan setuju lebih baik menunggu vaksin dan membangun kekebalan kolektif kita terhadap virus secara bersamaan. Satu proyeksi menunjukkan upaya kekebalan kelompok di AS akan mengakibatkan 640 ribu kematian pada Februari 2023.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement