Kamis 12 Nov 2020 04:58 WIB

Masa Kecil Nabi SAW

Nama Muhammad tak pernah digunakan oleh orang Arab  sebelumnya.

Ilustrasi Rasulullah
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Ihza Aulia Sururi Tanjung

Malam itu langit terlihat cerah. Hewan dan tetumbuhan sorak-sorai gembira mendengar kabar lahirnya manusia pilihan yang diutus Allah SWT  sebagai ‘Rahmatan Lil’alamin’. Syeikh Sofiyurrahman Al-Mubarakfuri mengatakan dalam bukunya Ar-Rahiqul Al-Makhtuum, bahwa pada malam tersebut telah terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak lazim di belahan bumi lain. Api sesembahan kaum Majusi yang diyakini telah menyala seribu tahun lebih, seketika padam dan tidak mampu dinyalakan kembali. Gereja dan biara di Kerajaan Romawi pun tiba-tiba runtuh. Sementara di Bumi Persia, 14 balkon istana Raja Kisra juga mengalami hal yang sama. Seakan alam ini tengah mempersiapkan diri menyongsong kelahiran Baginda Nabi SAW, Sang Penutup para nabi dan penyempurna ajaran-ajaran Tuhannya.

Dengan senang hati,  ibunda Rasulullah SAW  memberi kabar kepada mertuanya Abdul Muthollib akan kelahiran putranya. Lalu, dengan gembira pula Sang Kakek membawanya masuk ke Ka’bah seraya berdoa dan bersyukur kepada Tuhan semesta alam atas kelahiran cucunya.

Kemudian dipilihkanlah nama “Muhammad”, sebuah nama yang tak pernah orang Arab gunakan sebelumnya. Tapi bermakna tinggi dan terpuji yang didapat Abdul Muthollib dari ilham Rabbnya.

Muhammad kecil lahir pada malam Senin,  12 Rabiul Awwal Tahun Gajah. Ulama lain ada yang berpendapat pada tanggal 9 Rabiul Awwal. Beliau lahir tanpa kehadiran ayahandanya,  Abdullah. Sebab, tidak lama setelah pernikahannya dengan Siti Aminah, Abdullah bersama kafilahnya pergi ke Syam untuk berbisnis. Dalam perjalanan, beliau singgah ke Madinah. Di saat itulah lelaki  berumur 25 tahun itu jatuh sakit dan meninggal dunia di saat Aminah sedang mengandung. 

Ahmad (nama lain Rasulullah SAW) menjalani kehidupan layaknya bayi-bayi kecil lainnya. Ketika itu --sesuai adat masyarakat Arab -- Abdul Muthollib meminta perempuan Badui untuk menyusui dan mengasuhnya di pedesaan yang jauh dari kota Mekkah.  Kendati budak Abu Lahab, Tsuwaybah Al-Aslamiyah sempat menyusuinya untuk beberapa saat. 

Halimah binti Abi Dzuaib merupakan satu-satunya dari wanita Badui yang belum mendapatkan bayi untuk disusui. Sebetulnya setiap wanita dari rombongannya telah ditawari untuk menyusui Rasulullah SAW, tetapi mereka menolaknya. Sebab, bayi beliau adalah seorang anak yatim yang tak bisa diharapkan imbalan yang memadai. 

Halimah pun bertekad untuk pantang pulang ke kampung dengan tangan hampa. Lalu,  suaminya pun menguatkan hatinya,  “Mudah-mudahan Allah memberikan kebaikan pada kita karenanya”. Demikian riwayat yang dinukil dari kitab Siyar A’lamin Nubala karangan Imam Adz-Dzahabi.  

Orang Arab Mekkah melakukan hal tersebut bukanlah tanpa sebab. Mereka menginginkan anak-anaknya terhindar dari wabah/penyakit kota, hidup di alam yang bersih, jauh dari keramaian dan belajar Bahasa Arab asli (fushah) yang digunakan suku Badui.

Ketika itu kampung Halimah kering kerontang. Kambing dan unta mereka pun kurus dan tidak menghasilkan susu. Namun, setelah kehadiran Rasulullah bahkan saat perjalanan kembali dari Mekkah, tanaman dan hewan mereka tumbuh subur dan gemuk. Mereka pun dapat meminum susu unta yang lama sudah kering. Keberkahan dan kebaikan terus mengalir karena keberadaannya.

Sungguh Allah SWT telah memuliakan beliau, kendati masih belia seperti anak-anak lain. Kehadirannya membawa berkah melimpah bagi keluarga Halimah yang menyusui dan mengasuhnya. Oleh karenanya, mari kita muliakan beliau agar Allah SWT memuliakan kita. Lalu, sebisa  mungkin mengikuti jalan-jalan yang dilaluinya dalam menyebarkan dakwah Islamiyah di muka bumi. Allahumma sholli wa sallim wa baarik ‘alaih.

Wallahu a'lam bish-shawab.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement