Sabtu 14 Nov 2020 04:41 WIB

Tiga Kelompok Warga yang Sering Jadi Target Rasisme di Media Australia

Muslim masih alami persekusi dan tindakan rasis

Red:

Saat Nayma Bilal, seorang Muslimah yang menggunakan niqab pergi ke sebuah pantai di kota Sydney, seorang perempuan menghampirinya lalu berkata, "pergilah dari negara ini, kamu tidak pantas ada di sini."

Ini adalah salah satu contoh perilaku rasis yang dialaminya di Australia, setelah pindah ke negara tersebut dari Bangladesh di usianya yang keempat.

"Saya besar di Australia dan adik-adik saya lahir di sini. Kami sama-sama orang Australia seperti kamu," cerita Nayma menanggapi insiden tersebut.

Nayma mengatakan perempuan Muslim di Australia, termasuk yang menggunakan niqab, seringkali disalahpahami dan menjadi korban dari rasisme di media.

"Ini jadi yang paling membuat marah ketika media lebih fokus menggambarkan Muslim sebagai teroris atau orang yang jahat," ujar Nayma yang berusia 19 tahun.

"Kemudian secara tidak sadar mempengaruhi orang-orang saat berinteraksi dengan Muslim."

"Sangat mengecewakan karena kita tidak diberi kesempatan seperti komunitas lainnya untuk menyuarakan pendapat kita dan menunjukkan siapa kita dan agama yang kita anut."

Sebuah penelitian yang sedang dilakukan di Australia menunjukkan lebih dari setengah artikel opini di media-media Australia menggambarkan kelompok minoritas secara negatif.

Studi yayasan non-profit anti-rasisme di Australia, 'All Together Now' menemukan bahwa warga Muslim menjadi kelompok yang paling sering menjadi target di media, diikuti warga keturunan China dan Aborigin.

 

Hasil laporan selengkapnya dari studi ini akan dirilis tahun depan dengan mengamati 315 artikel, opini, dan komentar dari sejumlah media Australia, seperti ABC, Nine Network (termasuk Sydney Morning Herald dan The Age), dan sejumlah media milik kelompok News Corp dan Network Ten.

Jennifer McLean, manajer proyek 'All Together Now' mengatakan "tingginya angka statistik yang menggelisahkan" ini telah menimbulkan dampak nyata bagi kelompok minoritas di Australia.

"Tidak hanya rasisme terus belanjut dalam komentar di media, tapi juga semakin menyesatkan atau berbahaya," ujar Jennifer.

'All Together Now' mengamati tulisan-tulisan di media dengan melihat penggunaan kata-kata yang membuat stereotip, menebarkan ketakutan, pemikiran yang salah, tanpa konteks dan "mengaburkan gagasan antara kritik dengan sentimen rasis".

Kekhawatiran soal artikel yang rasis kepada warga keturunan China

Apa yang dialami oleh Nayma juga dirasakan oleh para perempuan lain dari kelompok minoritas, seperti Yongyan Xia asal China yang kini sedang belajar biomedis di Melbourne.

Ketika pandemi COVID-19 terjadi di Australia awal tahun ini, dia berusaha untuk tidak membaca berita.

"Banyak artikel yang diunggah di Facebook menyebutnya 'virus China', 'jangan berhubungan dengan orang China karena Anda akan tertular'. Buruk sekali," kata Yongyan.

"Kata-katanya terkadang menyesatkan. Hanya menceritakannya di judul, tanpa menjelaskan secara rinci."

Laporan 'All Together Now' merujuk pada sebuah artikel opini yang mengejek masakan China dan mengaitkannya dengan masakan kelelawar dan pasar tradisional Wuhan, atau menyebut Tahun Tikus di China dan menghubungkannya sosok tikus yang pengkhianat.

Selama pandemi virus corona, angka tindakan rasisme terhadap komunitas Asia di Australia meningkat dan Jennifer mengatakan hal ini diperburuk oleh pemberitaan beberapa artikel di media.

"Sayangnya, rasisme di media secara sistematis diperkuat oleh wacana publik dan politik," katanya.

"Dan ada banyak bentuk rasisme struktural, sistemik, yang terbentuk, serta dianggap menjadi normal dalam masyarakat Australia."

Rasisme terselubung menjadi hal yang biasa

Jennifer dari 'All Together Now' juga mengamati adanya "peningkatan bentuk rasisme terselubung yang mungkin lebih sulit untuk dideteksi".

Di antaranya dalam bentuk 'dog whistling' yang memicu ketakutan pada kelompok rasial tertentu tanpa merujuk kelompoknya secara langsung, seperti saat menggambarkan warga Muslim, serta bentuk rasisme yang mengabaikan pernah adanya penjajahan di benua Australia dan penghancuran budaya asli warga Aborigin dan Penduduk Pribumi Selat Torres.

Rona Glynn-McDonald, seorang perempuan dari suku Kaytetye dari Alice Springs dan pendiri organisasi 'Common Ground', mengatakan ada "beberapa rasisme terselubung dan tidak dapat dipahami kecuali jika kita orang Aborigin atau bukan orang kulit putih."

 

"Mikroagresi rasial dan nada halus rasis yang ada di banyak laporan berita dan wawancara atau cara orang-orang menggambarkannya menunjukkan hal itu," ujarnya.

"Warga Australia Non-Pribumi sangat tidak paham dengan kehidupan, sejarah dan budaya kami, dan saya pikir itu tercermin dalam cara pelaporan media dan ini menjadi cerminan masih adanya perpecahan di Australia."

Rona juga mengatakan warga Aborigin sebagai korban "merusak" persepsi masyarakat umum dan "berbahaya" bagi kaum muda dalam aspirasi mereka untuk masa depan.

Kurangnya keberagaman dalam media di Australia

 

Jennifer juga mengatakan media Australia terus "didominasi oleh orang kulit putih" dan gagal mencerminkan keragaman budaya dan bahasa di Australia.

Delapan puluh sembilan persen dari artikel bernada rasis ditulis oleh orang-orang dari latar belakang Anglo-Celtic atau Eropa, menurut laporan 'All Together Now'

"Mulai dari jurnalis, presenter, produser dan hingga eksekutif di media, dan yang mengambil keputusan mungkin tidak menyadari jika mereka buta akan budaya," ujarnya.

"Beberapa rasisme mungkin berlanjut, meski mereka tidak berniat melakukannya."

Studi terbaru dari Media Diversity Australia juga menemukan presenter, komentator, dan reporter di televisi Australia kebanyakan berkulit putih.

Awal tahun ini, Media Entertainment and Arts Alliance (MEAA) mengeluarkan pedoman baru untuk melaporkan soal ras dan ujaran kebencian.

"Jelas ada hubungan antara kurangnya keberagaman dalam jurnalisme Australia dan bagaimana isu ras, agama dan budaya diliput di negara ini," kata juru bicara MEAA, Adam Portelli kepada ABC.

"Kami percaya ruang redaksi harus berubah untuk lebih mencerminkan keberagaman audiens yang mereka layani."

"Upaya untuk meningkatkan keberagaman di media tidak boleh bersifat tokenistis dan hanya akan benar-benar efektif jika mereka yang berada dalam posisi pengambilan keputusan editorial juga mencerminkan kondisi warga yang beragam."

 

Upaya mematahkan anggapan yang salah

Terlepas dari gambaran negatif tentang perempuan Muslim dan diskusi apakah penggunaan cadar wajib atau tidak di kalangan umat Muslim sendiri, Nayma memilih untuk tetap memakainya.

"Saya merasa sangat tercerahkan ketika saya melihat perempuan Muslim ditampilkan di media dan menggunakan simbol-simbol yang melambangkan Islam di media, semakin nyaman dan kami merasa semakin tercerahkan dan diberdayakan," kata Nayma yang bercita-cita menjadi dokter ahli bedah.

 

"Orang-orang sekarang melihat saya karena keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan saya."

"Saya merasa di saat pandemi COVID-19 dan semua orang harus memakai masker, mereka mengerti bahwa saya masih dapat berkomunikasi baik dengan orang lain.

Sementara Rona mengatakan perlu adanya perubahan di media.

"Kaum muda tidak merasa terwakili di media. Pengalaman hidup kami yang beragam tidak terwakili dalam apa yang menurut media layak diberitakan," katanya.

"Saya pikir pandangan kita mulai bergeser dan orang-orang muda memiliki cara pandang yang sangat berbeda tentang dunia, pemahaman tentang diri kita, dan tentang warga Aborigin, non-Pribumi atau orang kulit berwarna."

"Tapi saya pikir media belum cukup menggambarkan perubahan itu."

Ikuti berita seputar pandemi Australia lainnya di ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement