Rabu 11 Nov 2020 11:57 WIB

Ilmuwan Ungkap Alam Semesta Semakin Panas, Kenapa?

Alam semesta semakin panas karena keruntuhan gravitasi struktur kosmik.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Dwi Murdaningsih
Alam semesta (ilustrasi).
Foto: www.kaheel7.com
Alam semesta (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebuah studi baru menemukan alam semesta semakin panas. Studi yang diterbitkan 13 Oktober di Astrophysical Journal, menyelidiki sejarah termal alam semesta selama 10 miliar tahun terakhir.

"Pengukuran baru kami memberikan konfirmasi langsung dari karya oleh Jim Peebles yang peraih Nobel Fisika 2019. Dia menguraikan teori tentang bagaimana struktur skala besar terbentuk di alam semesta," kata Penuis Utama Studi di Pusat Kosmologi Universitas Negeri Ohio, Yi-Kuan Chiang, dilansir Phys, Rabu (11/11).

Baca Juga

Struktur skala besar alam semesta mengacu pada pola global galaksi dan gugus galaksi skala di luar galaksi individu. Ini dibentuk oleh keruntuhan gravitasi materi gelap dan gas.

Saat alam semesta berevolusi, gravitasi menarik materi gelap dan gas di ruang angkasa bersama-sama menjadi galaksi dan gugusan galaksi. Tarikan tersebut sangat keras dan begitu ganas sehingga semakin banyak gas yang disetrum dan dipanaskan.

Penemuan itu, kata Chiang menunjukkan kepada para ilmuwan bagaimana menghitung kemajuan pembentukan struktur kosmik dengan memeriksa suhu alam semesta.

Para peneliti menggunakan metode baru yang memungkinkan mereka memperkirakan suhu gas lebih jauh dari Bumi. Ini berarti jauh ke masa lalu dan membandingkannya dengan gas yang lebih dekat ke Bumi di waktu sekarang.

Para peneliti telah memastikan alam semesta semakin panas dari waktu ke waktu karena keruntuhan gravitasi struktur kosmik dan pemanasan kemungkinan akan terus berlanjut.

Untuk memahami bagaimana suhu alam semesta berubah dari waktu ke waktu, para peneliti menggunakan data tentang cahaya di seluruh ruang yang dikumpulkan oleh dua misi, Planck dan Sloan Digital Sky Survey. Planck adalah misi Badan Antariksa Eropa yang beroperasi dengan keterlibatan besar dari NASA. Sementara Sloan adalah mengumpulkan gambar detail dan spektrum cahaya dari alam semesta.

Mereka menggabungkan data dari dua misi dan mengevaluasi jarak gas panas dekat dan jauh melalui pengukuran pergeseran merah. Pergeseran merah dilakukan dari cara memanjangnya panjang gelombang cahaya.

Semakin jauh sesuatu di alam semesta, semakin panjang panjang gelombang cahayanya. Ilmuwan yang mempelajari kosmos menyebutnya memperpanjang efek pergeseran merah.

Konsep pergeseran merah berhasil karena cahaya yang kita lihat dari objek yang lebih jauh dari Bumi adalah lebih tua daripada cahaya yang kita lihat dari objek yang lebih dekat ke Bumi. Cahaya dari objek yang jauh telah menempuh perjalanan yang lebih jauh untuk mencapai kita.

Fakta tersebut bersama dengan metode untuk memperkirakan suhu dari cahaya, memungkinkan para peneliti untuk mengukur suhu rata-rata gas di awal alam semesta. Gas yang mengelilingi objek yang lebih jauh dan membandingkannya dengan suhu rata-rata gas yang lebih dekat ke Bumi pada hari ini.

Para peneliti menemukan gas-gas yang ada di alam semesta saat ini mencapai suhu sekitar 2 juta derajat kelvin atau sekitar 4 juta derajat Fahrenheit, di sekitar objek yang lebih dekat ke Bumi. Itu kira-kira 10 kali suhu gas di sekitar objek yang lebih jauh ke masa lalu.

Menurut Chiang, alam semesta sedang memanas karena proses alami galaksi dan pembentukan struktur. Ini tidak terkait dengan pemanasan di Bumi. "Fenomena ini terjadi dalam skala yang sangat berbeda. Mereka sama sekali tidak berhubungan,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement