Rabu 11 Nov 2020 04:31 WIB

Balai Pustaka Galang Dana untuk Sastrawan Terdampak Pandemi

Penggalangan dana dilakukan dalam bentuk program 'Puisi Cinta untuk Indonesia'.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Balai Pustaka Galang Dana untuk Sastrawan Terdampak Pandemi (Foto: ilustrasi)
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Balai Pustaka Galang Dana untuk Sastrawan Terdampak Pandemi (Foto: ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Balai Pustaka bersama Titimangsa Foundation menghadirkan program "Puisi Cinta untuk Indonesia". Para selebritas, seniman, sastrawan, dan pejabat mendeklamasikan puisi karya penyair tersohor Tanah Air.

Program tayang di kanal YouTube Balai Pustaka Official, Selasa (10/11) petang. Kolaborasi tersebut sekaligus bertujuan menggalang donasi untuk para sastrawan yang ekonominya terdampak akibat pandemi Covid-19. Acara dimulai dengan penampilan aktris senior Christine Hakim yang membaca puisi "Ibu" karya D Zawawi Imron.

Baca Juga

"Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan, namamu ibu yang kan kusebut paling dahulu," kata Christine membaca bait puisi.

Berlanjut dengan aktor Slamet Rahardjo yang mendeklamasikan puisi "Apa Ada Angin di Jakarta?" ciptaan Umbu Landu Paranggi. Umbu hadir sesudahnya, menyenandungkan bait puisi yang sama, lalu melanjutkan dengan "Catetan Th 1946" karya Chairil Anwar.

Usai penampilan ketiga sosok senior tersebut, aktris dan penyanyi Widi Mulia menyapa penonton virtual. Widi yang malam itu menjadi pemandu acara, berbincang bersama Direktur Utama Balai Pustaka, Achmad Fachrodji.

"Kolaborasi ini dalam rangka membangun solidaritas untuk para sahabat sastrawan, penyair, dan seniman. Betapa dalam situasi seperti ini, puisi benar-benar dibutuhkan untuk menyentuh semua insan, membangun cinta dan persaudaraan," ujar Fachrodji.

"Puisi Cinta untuk Indonesia" menampilkan sajak-sajak karya Abdul Hadi WM, Asrul Sani, Dorothea Rosa Herliany, Hasan Aspahani, dan WS Rendra. Turut dibacakan pula puisi karya Joko Pinurbo, Mutia Sukma, dan Subagio Sastrowardoyo.

Selain Umbu Landu Paranggi yang membacakan sendiri puisinya, beberapa sastrawan melakukan hal sama. Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Warih Wisatsana, Isbedy Stiawan ZS, M Aan Mansyur, dan Kurnia Effendi pun membacakan langsung karya mereka.

Puisi kritis karya Widji Thukul dengan elok digubah menjadi musikalisasi oleh sang putra, Fajar Merah. Lantunan puisi "Bunga dan Tembok" berbalut musik itu kian artistik dengan gerak teaterikal dari Asmara Abigail.

Musikalisasi puisi juga dilakukan seniman Sri Krishna untuk puisi "Guruku" karya KH Ahmad Mustofa Bisri. Begitu pula Reda Gaudiamo yang bermain ukulele sambil melagukan bait puisi "Pada Suatu Hari Nanti" karya Sapardi Djoko Damono.

"Pada suatu hari nanti, jasadku tak akan ada lagi, tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri," demikian bunyi penggalan puisi Sapardi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement