Senin 09 Nov 2020 09:12 WIB

Sumpah Pemuda dan Muruah Bahasa Indonesia

Tabrani wacanakan nama bahasa Indonesia dalam editorial pada harian Hindia Baroe.

Rangga Asmara, dosen Universitas Tidar, kandidat Doktor Linguistik Universitas Gadjah Mada
Foto: dokpri
Rangga Asmara, dosen Universitas Tidar, kandidat Doktor Linguistik Universitas Gadjah Mada

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Rangga Asmara*

Banyak yang meyakini bahasa Indonesia lahir pada 28 Oktober 1928, termasuk lembaga otoritas bahasa di Indonesia, Badan Bahasa. Sebenarnya sah-sah saja menjadikan hari sumpah pemuda sebagai kelahiran bahasa Indonesia. Karena tanggal itu memang tercatat sebagai tonggak-tonggak bersejarah (milestone) pengakuan sebuah bahasa persatuan yang kemudian pada waktu itu disepakatilah nama bahasa Indonesia sebagai salah satu sumpah yang diikrarkan oleh para pemuda.

Meski begitu beberapa ahli bahasa meyakini jauh sebelum Sumpah Pemuda istilah bahasa Indonesia telah banyak diwacanakan dan layak dipertimbangan menjadi hari kelahiran bahasa Indonesia. Linguis Universitas Indonesia Harimurti Kridalaksana, dalam bukunya Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia (2009) mengusulkan tanggal 11 Februari 1926 sebagai hari lahir bahasa Indonesia karena pada tanggal itu jurnalis M. Tabrani untuk pertama kalinya mewacanakan nama bahasa Indonesia dalam tulisan editorialnya yang berjudul “Bahasa Indonesia” pada harian Hindia Baroe. Dalam tulisannya itu, Tabrani secara lugas mengusulkan “Bangsa Indonesia belum ada, maka ciptakanlah! Bahasa Indonesia belum ada, buatlah!”. 

Dari gagasannya itulah kemudian, bahasa Indonesia boleh dianggap “lahir” atau diterima eksistensinya dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sejak itu, Sumpah Pemuda dianggap sebagai hari penerimaan dan pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa bangsa Indonesia. Secara yuridis, tanggal 18 Agustus 1945 juga patut dipertimbangkan sebagai hari lahir bahasa Indonesia. Meskipun, tanggal itu telah ditetapkan sebagai Hari Konstitusi Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 18 Tahun 2008. 

Sejarah Kelahiran

Tak bisa dinafikan, Tabrani memiliki andil besar dalam sejarah kelahiran bahasa Indonesia. Bahkan, dalam bukunya yang berjudul Anak Nakal Banyak Akal (1979), ia secara tegas menolak nama bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan sebagaimana usulan M. Yamin. Meskipun Yamin mengusulkan rancangannya yang berbunyi, “Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah satoe, tanah air Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa satoe, bangsa Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean Bahasa Melajoe” pada Kongres Pemuda I, bagi Tabrani, “kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu”. 

Pada Kongres Pemuda I, Yamin menyatakan hanya ada dua bahasa yang berpotensi diangkat sebagai bahasa persatuan, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Namun, Yamin yakin bahasa Melayu yang akan lebih berkembang sebagai bahasa persatuan. 

Pemilihan bahasa Melayu sangat beralasan karena bahasa ini telah lama menjadi lingua franca di Nusantara, khususnya sebagai bahasa penghubung dalam perdagangan. Selain itu, pertimbangan futuristik para tokoh Kongres Pemuda I saat itu menilai bahasa Jawa riskan memicu konflik dan disintegrasi jika digunakan sebagai bahasa nasional karena karakteristik bahasa Jawa yang memiliki tingkat tutur (ngoko-krama). 

Akhirnya, perdebatan Tabrani-Yamin yang tidak berkesudahan (deadlock), menyebabkan keputusan ditunda sampai Kongres Pemuda II. Dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, Soegondo Djojopoespito sebagai Ketua Kongres Pemuda Kedua tak lagi menyebut usul Yamin dalam rapat panitia, tapi langsung membawa resolusi yang telah diubah itu ke sidang umum dan diterima dengan suara bulat oleh Kongres. Resolusi itulah Sumpah Pemuda yang kita kenal sekarang.

Di antara tiga putusan Sumpah Pemuda, para pemuda saat itu tentu sangat menyadari bahasa Indonesia dapat menjadi alat perjuangan dan identitas bangsa Indonesia. Ikrar terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan merupakan bentuk kemerdekaan para pemuda dalam menentukan identitas bahasanya sendiri. Selain itu, ikrar ini juga bentuk perlawanan terhadap bahasa kolonial Belanda yang dianggap sebagai bahasa elit. Para pemuda saat itu tentu tidak sudi jika bangsa Indonesia yang dicita-citakan kelak, menggunakan bahasa warisan kolonial.   

Jadi pada dasarnya bahasa Indonesia adalah keputusan politik suatu komunitas bernama bangsa Indonesia. Keputusan politik itu kemudian diikat dalam wujud sumpah. Secara kultural, masyarakat Indonesia sangat meyakini sumpah adalah sesuatu yang sakral ketika diucapkan. Jauh sebelum sumpah pemuda menggema, kita kenal sumpah legendaris Patih Gadjah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Sumpah Palapa juga menjadi asa Kerajaan Majapahit untuk menyatukan nusantara waktu itu. 

Untuk itu, sebagai generasi penerus mestinya kita patut bersyukur dan bangga karena bahasa Indonesia secara genolinguistik bukan merupakan produk kolonialisme. Bahkan, di beberapa negara tetangga yang notabene dulu jajahan Inggris, bahasa penutur jatinya justru bukan menjadi primadona di negerinya. Singapura harus mengakomodasi empat bahasa yang eksis di sana. Di Filipina, meskipun bahasa Tagalog sudah diresmikan sebagai bahasa negara, namun belum semua warganya menerima bahasa itu sebagai bahasa resmi negara.

Masih Berkembang

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang masih berkembang. Pada tahun 1953 Kamus Bahasa Indonesia pertama diterbitkan Poerwadarminto. Dalam kamus itu tercatat jumlah lema (kata) dalam bahasa Indonesia berjumlah 23.000. Pada tahun 2018 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi lima telah memuat 109.213 lema. Peningkatan jumlah lema ini menjadi salah satu indikator bahasa Indonesia berkembang dengan signifikan. Kemajuan teknologi dan masifnya penggunaan media sosial menjadi salah satu faktor utama. Sebagaimana karakteristik bahasa melayu yang mudah menyerap bahasa asing dan bahasa daerah, bahasa Indonesia rentan kehilangan identitas dan muruahnya di tengah impitan bahasa asing. 

Mengingat fungsi bahasa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang sedemikian penting terkait eksistensinya dengan keberagaman di Indonesia dan mengingat sejarah kelahirannya, sudah seharusnya kita menjaga kewibawaan bahasa Indonesia. Sebab, setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, memiliki kaidah, hukum, atau dalil-dalil yang harus ditaati.

Bahasa Indonesia harus dimengerti dengan baik dan benar oleh masyarakat pemakainya sekaligus pemiliknya, yaitu masyarakat Indonesia. Jangan sampai suatu saat, masyarakat Indonesia lupa bahkan kehilangan bahasa Indonesia di tengah derasnya penyerapan bahasa asing. Meskipun, Badan Bahasa sebagai lembaga pereksa bahasa telah menyusun rambu-rambu penyerapan kata dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Tapi, tidak bisa dimungkiri begitu banyak penyimpangan kaidah di media massa, apalagi di media sosial. Kalau kita terlalu mudah menyerap kosakata asing, kosakata bahasa Indonesia nantinya akan penuh oleh kata serapan. Akhirnya, kata-kata “asli” Indonesia akan menjadi bentuk arkais.

*Dosen Universitas Tidar, Kandidat Doktor Linguistik Universitas Gadjah Mada

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement