Senin 09 Nov 2020 00:35 WIB

65,2 Persen Penduduk Selandia Baru Setuju UU Eutanasia

'Eutanasia' adalah pilihan mengakhiri hidup bagi pasien dengan penyakit sangat parah.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Nora Azizah
'Eutanasia' adalah pilihan mengakhiri hidup bagi pasien dengan penyakit sangat parah (Foto: ilustrasi)
Foto: AP
'Eutanasia' adalah pilihan mengakhiri hidup bagi pasien dengan penyakit sangat parah (Foto: ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Sekitar 65,2 persen penduduk Selandia Baru memberikan dukungan terhadap Rancangan End of Life Choice Act atau Undang-Undang (UU) Pilihan Akhir Kehidupan agar menjadi undang-undang (UU) selama referendum. Dalam dunia medis dikenal istilah eutanasia untuk mengakhiri hidup bagi penderita yang mengalami sakit parah secara sukarela.

Dilansir dari New Zealand Herald pada Ahad (8/11), undang-undang (UU) baru akan memberikan kesempatan kepada orang yang sakit parah untuk menerima suntikan kematian atas persetujuan dua dokter. Untuk melakukan eutanasia, pasien wajib berstatus masa hidup tersisa enam bulan atau kurang, berusia minimal 18 tahun dan warga negara permanen Selandia Baru.

Baca Juga

Diketahui, End of Life Choice Act sebenarnya disahkan pada 13 November 2019. Namun undang-undang tersebut diharapkan baru mulai berlaku pada November 2021. Selain Selandia baru, negara lain yang melegalkan eutanasia ialah Belanda, Belgia, Luksemburg, Australia Barat, Kolombia dan Kanada.

Diketahui, Eutanasia berasal dari bahasa Yunani ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang berarti kematian. Eutanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan sering kali berubah seiring dengan perubahan norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement