Sabtu 07 Nov 2020 20:55 WIB

Istri Berhak Atas Mahar, Jika tidak Ada Mahar Nikah Sah?

Mahar merupakan hak istri dalam sebuah pernikahan

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Mahar merupakan hak istri dalam sebuah pernikahan Ilustrasi mahar dalam nikah
Foto: Pixabay
Mahar merupakan hak istri dalam sebuah pernikahan Ilustrasi mahar dalam nikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dalam pernikahan mahar merupakan bagian tak terlepaskan. Apakah yang dimaksud mahar dan sahkah sebuah pernikahan tanpa mahar? 

Fikih Mahar karya Isnan Ansory, menjelaskan makna mahar mengutip Imam Al-Khathib dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj menjelaskan, mahar bermakna sebagai harta yang wajib diserahkan karena sebab nikah, hubungan seksual, atau hilangnya keperawanan. Hal ini sebagaimana hadits Nabi riwayat Imam Tirmizi berbunyi: 

Baca Juga

فإنْ دخَلَ بها فلها المَهرُ بما استحَلَّ مِن فَرجِها Fa in dakhala biha al-mahru bima-stahala min faarjiha.” Yang artinya: “Jika dia telah digauli maka dia berhak mendapatkan mahar, sebab suami telah menghalalkan kemaluannya,”.

Para ulama bersepakat bahwa pemberian mahar oleh suami dalam akad nikah merupakan suatu hal yang wajib. Alasannya adalah karena mahar merupakan bagian dari hak-hak istri atas suami. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surat An-Nisa ayat 4: 

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Wa aatuu an-nisaa shaduqatihinna nihlatan fa in thibna lakum an syai’in minhu nafsan fakuluhu hani-an mari-an.” 

Yang artinya: “Berikanlah mahar/maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya.” 

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa secara tegas Allah mengatakan bahwa mahar itu merupakan hak milik sang istri, bukan milik suami ataupun walinya. Perkara sah tidaknya nikah tanpa mahar, para ulama pun berbeda pendapat tergantung alasan mengapa mahar tidak dapat disertakan dalam akad nikah.

Ulama dari Mazhab Hanafi, Syafii, dan Hanbali (mayoritas ulama) mengatakan nikah tetap menjadi sah apabila ketiadaan mahar merupakan syarat yang diajukan suami untuk diteruskannya pernikahan. Alasannya sebab mahar bukanlah rukun nikah. 

Namun demikian, suami yang tidak memberikan maharnya tetap terhitung berdosa karena mahar merupakan hak istri yang wajib ditunaikan.

Adapun ulama mazhab lainnya menyatakan, nikah tanpa mahar terhitung batal. Misalnya, mazhab Maliki berpendapat bahwa mahar termasuk rukun nikah meskipun tidak mesti disebutkan di dalam akad. Dan atas dasar ini, pernikahan yang disyaratkan ketiadaan mahar terhitung tidak sah.

Imam Ad-Dardir Al-Maliki berkata: “Walittifaaqu ala isqaatihi mufsidun al-aqda.”  Yang artinya: “Kesepakatan untuk tidak adanya mahar dapat merusak akad nikah.” 

Adapun demikian, ketiadaan mahar bisa disebabkan adanya kerelaan istri untuk tidak menerima mahar atau biasa disebut dengan istilah nikah tafwidh. Dalam kasus ini, pada dasarnya para ulama bersepakat bahwa pernikahannya tetaplah sah. Namun demikian, sang suami tetap wajib menawarkan sejumlah mahar.

Jika kemudian istri bisa merelakannya untuk sang suami, maka nikah bisa sah tanpa mahar sekalipun. Hal ini didasarkan oleh firman Allah di dalam Surah An-Nisa ayat 24: 

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Wa laa junaaha alaikum fima taraadhaytum bihi min ba’di al-faridhati innallaha kaana aliman hakima.” 

Yang artinya: “Dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement