Friday, 10 Syawwal 1445 / 19 April 2024

Friday, 10 Syawwal 1445 / 19 April 2024

HNW Dukung Legislative Review Menyeluruh UU Cipta Kerja

Jumat 06 Nov 2020 22:33 WIB

Red: Gita Amanda

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mendukung opsi “legislative review” terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dibuka oleh Pemerintah.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mendukung opsi “legislative review” terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dibuka oleh Pemerintah.

Foto: MPR
UU Omnibus Law Cipta Kerja tidak sekadar salah ketik tapi mencakup berbagai aspek

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mendukung opsi “legislative review” terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dibuka oleh Pemerintah. Upaya legislative review, Itu menurut Hidayat sejalan dengan prinsip NKRI sebagai Negara Pancasila, Negara Hukum dan Mengutamakan Kedaulatan Rakyat, sebagaimana diatur dalam Bab I Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUDNRI 1945.

“Saya mengapresiasi pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD, tidak menutup kemungkinan dilakukannya legislative review terhadap UU Ciptaker yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (6/11).

Namun, karena permasalahan dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja tidak sekadar salah ketik, tapi berjalin berkelindan serta banyak aspeknya, mencakup berbagai hal dan ketentuan terkait UU Ciptakerja. Langkah legislative review, merupakan salah satu opsi legal yang bisa dilakukan agar DPR dan Presiden dapat mengobati luka Rakyat, dengan memperbaiki secara mendasar berbagai hal terkait penyusunan, pengesahan dan sosialisasi UU Ciptaker.

Dari segi proses pembahasan, UU Ciptaker nampak tidak cermat dan diburu-buru target, draft final juga tidak diberikan kepada setiap fraksi pada pengambilan keputusan tingkat I dan tingkat II. Jadwal rapat paripurna persetujuan RUU Ciptakerja pun tiba-tiba dimajukan. Bahkan sesudah diketok palu di rapat paripurna DPR RI (sekalipun ditolak oleh FPKS dan FPD) hingga diserahkan ke Pemerintah, masih terjadi perbaikan yang diakui oleh Jubir Presiden bidang Hukum, Dini Santi P, yang diklaim sebagai perbaikan administrasi dan bukan substantif, tapi ternyata berdampak dengan dihilangkannya secara sepihak Pasal 46 dengan 4 ayatnya.

Berbagai kesalahan baik “administratif” maupun substantif masih ditemukan dalam UU Ciptaker. Padahal UU tersebut sesudah diputuskan di rapat paripurna DPR, sudah disisir di Baleg DPR, dan  juga di Setneg. Termasuk sesudah UU itu ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, dan dimuat dalam Lembaran Negara. Beberapa pihak sudah mempublikasikan temuan sejumlah kesalahan pasal dalam UU Cipta Kerja. Misalnya, Pasal 6 yang menentukan untuk merujuk ke Pasal 5 ayat 1, padahal Pasal 5 tersebut tanpa ayat.

Lalu, Pasal 175 angka 6 UU Ciptaker yang mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan, dimana ayat (5)-nya menyebut agar merujuk ke ayat (3), padahal seharusnya ke ayat (4). Selanjutnya, Pasal 50 angka 5 yang mengubah Pasal 36 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan lain sebagainya. Belum lagi temuan substansial terkait  pasal-pasal yang menguntungkan investor dan atau merugikan para Buruh WNI, sebagaimana dilaporkan oleh INDEF.

Munculnya kesalahan sesudah ditandatangani Presiden Jokowi, diakui  oleh Mensesneg Pratikno, sekalipun diklaim sebagai sekedar kesalahan administratif. Faktanya banyak juga yang substantif. Namun, apapun itu tetap bentuk cacat formal dan legal. Apalagi sudah ada pihak yang ditangkap karena dianggap menyebar hoax terkait RUU Ciptaker. Atau petugas di Sekretariat Negara yang sudah diberi sanksi administratif karena dianggap lalai menyodorkan naskah yang diperlukan tandatangan Presiden, tapi ternyata masih banyak masalah. Karena itu seharusnya   ada penarikan menyeluruh atas UU Cipta kerja itu.

Banyaknya kesalahan tersebut, kata Hidayat  harusnya tidak  terjadi dalam pembuatan UU yang memiliki daya ikat dan daya paksa kepada masyarakat luas. Apalagi Pemerintah menyampaikan bahwa RUU Omnibus Law Ciptakerja masuk kategori super prioritas, penuh niat baik, untuk sederhanakan perundangan dan hadirkan kepastian hukum. Tetapi dengan masih banyaknya masalah seperti, justru menggambarkan hal sebaliknya dari yang diklaim oleh Pemerintah.

Legislative review, dengan menarik seluruh ketentuan  Ciptakerja, oleh DPR dan Pemerintah, bisa menjadi  sarana bagi Presiden dan DPR untuk memperbaiki kinerja dalam pembuatan UU, dan memperbaiki kesalahan dalam pembuatan UU Omnibus Law seperti Ciptakerja ini, agar tak lagi dilakukan dengan grusa-grusu dan ugal-ugalan, sehingga menghasilkan banyak masalah, serta penolakan dari Masyarakat luas. Melakukan legaislative review menyeluruh dalam rangka mengembalikan kepercayaan Rakyat terhadap demokrasi dan lembaga negara/Pemerintah (eksekutif) maupun DPR (legislatif),” ujarnya dalam siaran pers.

Karenanya, HNW berpendapat agar legislative review yang dibuka opsinya oleh pemerintah, diprioritaskan, dan bukan hanya merevisi kesalahan-kesalahan dalam UU Ciptakerja  itu, melainkan secara total membuat RUU Pencabutan UU Ciptaker yang telah meresahkan Rakyat (utamanya kaum buruh), menghadirkan pembelahan Rakyat, dan memperoleh penolakan dari masyarakat secara luas dan berkelanjutan.

“Perlu ada keberanian dan kenegarawanan untuk mengambil langkah ini, guna mengakhiri kegelisahan dan kegaduhan Rakyat akibat disahkannya UU Ciptaker yang masih bermasalah itu, di tengah pandemi covid-19 yang Rakyat juga korbannya. Langkah itu juga dapat menyelamatkan kepercayaan Rakyat terhadap lembaga-lembaga negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif,” katanya.

Lebih lanjut, HNW menuturkan bahwa pengajuan dan pembahasan RUU Pencabutan UU Ciptaker ini bisa dilakukan dengan jalur cepat, tanpa melewati proses Program Legislasi Nasional (Prolegnas) layaknya RUU pada umumnya. Ia merujuk kepada Pasal 23 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 sebagai dasar hukumnya.

Ketentuan itu berbunyi, dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:

a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan

b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

HNW menilai bahwa kehadiran RUU Pencabutan UU Ciptaker ini sudah memenuhi kriteria dalam pasal itu, yakni adanya keadaan luar biasa dan adanya urgensi nasional. “Adanya penolakan publik yang meluas, proses pembahasan dan persetujuan RUU Ciptaker di DPR yang dinilai menabrak prosedur formil dan kesalahan penulisan konten yang substanstif cukup menjadi alasan perlunya RUU Pencabutan tersebut,” tukasnya.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini menjelaskan bahwa UU Pencabutan suatu undang-undang bukan terlarang, dan bukan hal yang baru bagi Indonesia. DPR dan Pemerintah, misalnya, pernah melakukan kegiatan sejenis, dengan mengesahkan UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. “Preseden menerbitkan UU yang mencabut UU lain sudah ada dan secara regulasi juga dimungkinkan,” ujarnya.

HNW mengingatkan, selain legislative review, ada dua opsi yang bisa diambil untuk mengakhiri kegaduhan terkait UU Ciptakerja ini, yakni judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau executive review oleh Presiden. Judicial review sudah ditempuh oleh berbagai kalangan masyarakat, terutama buruh/serikat pekerja.

HNW menambahkan bahwa pemerintah juga perlu mempertimbangkan opsi executive review yang dilakukan oleh Presiden, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mencabut UU Ciptaker ini. Menurutnya, opsi ini lebih mudah dilakukan karena hanya membutuhkan kemauan politik Presiden, tanpa perlu melibatkan DPR  layaknya mekanisme legislative review. Dan kalau Presiden membuat Perppu dengan mencabut UU yang baru ditandatanganinya, maka demi kemasalahatan terbesar bagi Bangsa dan Negara, hal seperti itu wajar untuk dilakukan. Seperti dulu Presiden SBY, diakhir masa jabatan ke-2 nya, membuat Perppu No. 1 Tahun 2014 dan mencabut UU Pilkada yang baru saja ditandatangani.

“Dari sudut pandang ketatanegaraan, memang Presiden tidak boleh dengan mudah menerbitkan Perppu. Namun, langkah ini perlu juga dipertimbangkan, mengingat penolakan terhadap UU Ciptaker di masyarakat semakin meluas, dan masih berlanjut, sementara UU-nya masih banyak masalah formal maupun legal, dengan segala dampak negatifnya dalam aspek ekonomi, sosial dan politiknya”pungkasnya

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler