Sabtu 07 Nov 2020 07:44 WIB

Striker Kelas Medioker yang Moncer

Musim lalu mereka menjadi kandidat kuat peraih sepatu emas.

Danny Ings (Kiri) saat memperkuat Timnas Inggris.
Foto: Glyn Kirk / POOL/AFP POOL
Danny Ings (Kiri) saat memperkuat Timnas Inggris.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agung Sasongko*

Bukan Mohamed Salah atau Sadio Mane, bukan juga Anthony Martial apalagi Marcus Rashford. Bukan juga Timo Werner atau Pierre Emerick Aubameyang. Nama-nama beken di atas tak masuk radar perhatian saya musim ini. Perhatian saya justru pada para striker kelas medioker yang musim lalu cukup impresif. Beberapa nama di antara striker medioker ini jadi kandidat kuat peraih sepatu emas.

Nama Danny Ings salah satunya. Striker Southampton itu  menempati posisi kedua dalam perburuan Sepatu Emas musim lalu. Ings hanya kalah tipis dari penyerang Leicester Jamie Vardy. Striker the Foxes itu mengoleksi 23 gol. Sementara, Ings mencetak 22 gol. Hanya selisih satu gol.

Mantan penyerang Liverpool itu memang gagal menunjukan performa terbaiknya di Anfield. Ings mungkin bisa berkilah kalau saat itu dirinya diterpa cedera sebelum akhirnya dilepas Liverpool. Nyatanya, selepas bergabung dengan Soton, performa pemain berusia 28 tahun itu moncer.

Ings mengaku, selepas melalui musim buruk di Liverpool, dirinya mencoba untuk kembali menata ulang motivasinya saat bermain. Ings coba mengali ulang kemampuannya guna mencapai puncak permainannya.  "Setelah menjalani musim lalu, saya memiliki fondasi untuk dilanjutkan saat ini. Saya merasa momen-momen terbaik dalam karir saya akan segera tiba," kata dia.

Ketajaman striker Inggris itu berlanjut di musim ini. Sudah lima gol dicetaknya, termasuk kala Soton membekap Aston Villa 4-0. Namun, Ings mengalami cedera sehingga kemungkinan absen saat Soton berpeluang naik ke peringkat teratas Liga Primer akhir pekan ini saat menjamu Newcastle United di St Mary.

Nama berikutnya, Patrick Bamford dari kubu Leeds United. Sudah enam gol di cetaknya musim ini. Pundi golnya bertambah saat The Whites menghajar Aston Villa 4-0. Saat itu, mantan pemain Chelsea itu mencetak hattrick pertamanya. Performanya itu membuat dirinya disandingkan dengan penyerang legendaris Leeds United, Mark Viduka pada tahun 2003 silam.

Tipikal permainan Bamford yang khas penyerang Inggris disukai Marcelo Bielsa, si arsitek yang menangani Leeds dua tahun lalu. Di tangan Bielsa, Bamford menjadi andalan. Total  16 gol dilesakkannya saat berada di Divisi Championship. Secara teknik Bamford mungkin biasa-biasa saja, namun dari sisi visi permainan, Bamford memahami itu dengan baik. Berada di tim dengan agretivitas luar biasa tentu membawa beban bagi striker sekelas Bamford. Sekalipun, Bielsa menarik Rodrigo dari Valencia, ketajaman sang bomber tak pudar. Sebaliknya, Bamford menunjukan kepada Biela bahwa dirinya layak menanggung beban yang berat di Elland Road.

Nama berikutnya, tentu saja, Jamie Vardy. Meski armada Leicester dipreteli tapi ketajamannya tak meluntur. Sebaliknya, semangatnya menggempur pertahanan lawan kian tokcer. Tujuh gol sudah dikoleksinya musim ini. Terakhir, ketika Leicester mengalahkan Leeds United 4-1. Jamie Vardy yang sudah berusia 33 tahun ini masih tercatat sebagai penyerang paling produktif di Liga Primer.

Melihat dari tim yang dibelanya, jelas, ketangguhan Vardy jelas teruji. Kesetiaannya membela The Foxes pun patut diapresiasi. Pada akun Twitter pribadinya, sang striker pernah bicara soal apa yang dilakukan di Leicester merupakan kerja kerasnya guna mewujudkan mimpi meski itu melalui klub sekelas The Foxes.

"Tidak pernah dalam sejuta tahun saya berpikir saya akan memenangkan medali Liga Inggris, apalagi Sepatu Emas, wow! Anda seharusnya tidak pernah menyerah pada impian Anda, tidak peduli seberapa gilanya!" tulis Jamie Vardy.

Nama terakhir, Dominic Calvert Lewin. Striker Everton ini beruntung mendapat sentuhan Carlo Ancelotti yang kini menukangi The Toffes. Don Carlo, sapaan akrabnya, tahu betul potensi Calvert Lewin. Hal yang sama dia lakukan ketika menangani striker klub elite Eropa seperti AC Milan, Juventus, Real Madrid, dan Chelsea. Racikan khusus Don Carlo inilah kunci meroketnya kemampuan sang pemain.

Dengan pergerakan tanpa bola, Calvert Lewin menjadi berbahaya ketika diandalkan menjadi titik akhir serangan Everton. Titah Don Carlo untuk menangani tugas sebagai pencetak gol dilakoninnya dengan baik. Duel udara menjadi senjata mematikan striker internasional Inggris ini. Konon, Calvert Lewin memiliki kemampuan baik dalam duel udara tak lepas dari tangan dingin Duncan Ferguson. Semasa aktif bermain, Ferguson jago mencetak gol melalui tandukan.

Masing-masing memiliki karakter klub yang sama, bukan klub besar seperti the Big Six dengan pemain di atas rata-rata. Sebaliknya, penopang para striker ini juga kelas medioker. Bukan teknik tapi kecerdasan bermain menjadi kunci kesuksesan mereka. Gol-gol mereka pun hadir tanpa diduga sehingga membuat para fans mengangga. Saya jadi teringat dengan mantan pemain Barcelona, Gerard Deulofeu. Deulofeu pemain berbakat yang kini harus membela tim medioker. Justru di klub mediokerlah, Deulofue menemukan kembali kepercayaan diri dan konsistensinya dalam bermain.

Pemain asal Spanyol itu malang melintang di kompetisi elite Eropa mengaku sadar telah melakukan banyak kesalahan ketika bermain di Barcelona. Pemain yang kini membela Udinese itu bukanlah pemain yang buruk-buruk amat. Namun, motivasinya yang hanya sekadar mengisi bench membuatnya terpuruk. "Kebanyakan adalah salah saya. Saya bepikir akan lebih baik bermain sebagai pengganti daripada harus menjadi starter. Saya tahu saya tidak membuktikan diri saya. Saya sangat percaya diri namun saya sadar saya tidak konsisten,"kata Deulofeu.

* Penulis adalah wartawan republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement