Kamis 05 Nov 2020 20:19 WIB

Muslim Belajar Islam di Barat? Ini Pendapat John L Esposito

John L Esposito mengomentari tentang minat Muslim belajar di Barat

John L Esposito mengomentari tentang minat Muslim belajar di Barat Universitas Oxford
Foto: Guardian
John L Esposito mengomentari tentang minat Muslim belajar di Barat Universitas Oxford

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Sebagian kalangan sangat apriori terhadap umat Muslim yang belajar Islam atau ilmu sosial, misalnya, ke negara-negara Barat. Bagaimanakah pandangan para pakar dari negara Barat menyikapi sikap tersebut?

Pakar studi Islam dan hubungan internasional dari Georgetown University, Washington DC, Amerika Serikat, John L Esposito, dalam wawancaranya dengan Harian Republika 2008 lalu, menanggapi tanggapan miring belajar Islam di Barat.           

Baca Juga

Dia mengatakan, Nabi Muhammad SAW mengatakan ‘tuntutlah pengetahuan meski ke negeri Cina’. Ada beberapa tempat di dunia Islam yang memiliki cendekiawan dan pendidikan bagus, ada juga yang tidak. Melihat perkembangan 50 tahun terakhir, banyak muncul cendekiawan dari Barat. Itu sebabnya, penerbit seperti Mizan dan lainnya, banyak menerbitkan tulisan mereka. 

“Coba lihat ensiklopedia tentang Islam. Lihat apa yang kami lakukan di Oxford, yang melibatkan para ahli dari seluruh dunia. Jika mereka bisa memahami alasan orang pergi ke Barat untuk belajar teknologi dan ilmu, mengapa mereka tidak bisa memahami orang belajar Islam ke Barat? Jika ada ahli yang bagus, di manapun ia berada, pergilah ke sana,” kata dia. 

Di tanya soal ada kecenderungan Muslim tidak terlalu tertarik pada ilmu-ilmu sosial, dia menjawab, “Ya, betul. Ambil contoh sederhana. Apa yang diharapkan orang tua pada anaknya ketika besar? Menjadi pengacara, insinyur, dokter. Nah, di banyak keluarga, jika si anak lebih memilih ilmu sosial atau bahkan ilmu Islam daripada kedokteran, orang tua akan berkata, ''Teruskan saja sekolah kedokteran, nanti kami panggilkan orang mengajar mengaji dan Islam.'' Itu juga yang terjadi pada ilmu sosial,” ujar dia. 

Dia melanjutkan yang kedua, banyak pemerintahan yang tidak menyokong berkembangnya ilmu sosial. Misalnya Arab Saudi. Di sana tidak ada fakultas ilmu sosial dan ilmu politik atau hubungan internasional. Karena jika mahasiswa mulai belajar pemahaman dan gagasan orang lain, hasilnya kontroversial. Selain itu, ada profesi tertentu yang dinilai prestisius dan menghasilkan materi lebih banyak.

Lainnya adalah soal gagasan. Misalnya, di negara yang punya pemerintahan otoriter ada fakultas yang melakukan perbandingan politik atau negara, lalu mengangkat contoh negara lain yang lebih sejahtera, serta bagaimana sistem ekonomi dan politiknya. Kesimpulannya, sistem di negara asal mereka bukan sistem terbaik. Ini akan memberi pengaruh dan kekuasaan yang bisa mengarah pada perubahan. Ini yang tidak diinginkan penguasa.

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement