Kamis 05 Nov 2020 19:43 WIB

Salah Ketik Bukti Penyusunan UU Cipta Kerja Cacat Prosedural

Kecurigaan akan penyelundupan pasal lebih besar daripada sekadar kesalahan penulisan.

Bunyi Pasal 2 Nomor 3 UU Minyak dan Gas di dalam UU Cipta Kerja mendapat sorotan warganet.
Foto:

Penyusunan UU Cipta Kerja mengadopsi metode omnibus law yang banyak dipraktekkan di negara-negara dengan tradisi common law. Secara tidak langsung, hal ini bertautan dengan meminjam gagasan dari tradisi common law dalam rangka melihat praktik pengadilan mengoreksi kesalahan penulisan dalam produk legislasi.

Dalam tradisi common law, khususnya di Amerika Serikat, berkembang doktrin yang dikenal dengan sebutan scrivener’s error. Istilah scrivener mengacu pada sebuah profesi pengganda dokumen dalam sebuah firma hukum.

Kini, scrivener sebagai sebuah profesi telah punah seiring dengan diciptakannya mesin ketik dan juga dengan adanya mesin fotokopi. Di Amerika Serikat, doktrin ini telah ada sejak awal 1900-an.

photo
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan Kawasan Industri Rancaekek, Jalan Raya Rancaekek, Kabupaten Bandung, Kamis (22/10). Dalam unjuk rasa tersebut mereka menolak pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja dan menuntut DPR RI dan Pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait pencabutan UU Ciptaker karena UU tersebut dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Foto: Abdan Syakura/Republika - (ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

Gagasan di balik berkembangnya doktrin scrivener’s error, kala itu, adalah ketika pengadilan dihadapkan pada sebuah dilema. Berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan serta logika dalam susunan teks bunyi Undang-Undang memang mengarah pada adanya kesalahan penulisan dalam UU. Seharusnya, tidak dalam kompetensi pengadilan untuk mengoreksi kesalahan tersebut.

Untuk menghormati pembentuk UU, selayaknya proses perbaikan redaksional diserahkan kembali kepada lembaga yang membentuknya. Namun, pengadilan mendobrak logika ini dan mengembangkan doktrin scrivener’s error.

Berdasarkan doktrin ini, pengadilan memiliki kewenangan untuk mengoreksi kesalahan penulisan dalam penyusunan UU. Bahkan, almarhum hakim Antonin Scalia yang terkenal dengan pendiriannya untuk memegang teguh bunyi teks dalam peraturan perundang-undangan ketika menafsirkan hukum juga mendukung gagasan di balik doktrin ini.

Bagi Scalia, kesalahan dalam penulisan harus dibedakan dengan kesalahan dalam kebijakan legislasi (legislative wisdom). Bilamana telah jelas dan terbukti ada kesalahan penulisan dalam redaksi bunyi UU, tanpa ada maksud lain di balik dari kesalahan tersebut, maka pengadilan berwenang untuk mengoreksinya.   

Praktik

Kewenangan pengujian UU di MK dibedakan antara uji formil dan uji materiil. Sementara, pengujian UU dalam kerangka mengoreksi kesalahan penulisan memiliki karakter formil sekaligus materiil. Secara formil, kesalahan penulisan merupakan cacat prosedural dalam penyusunan UU.

Namun kesalahan penulisan dalam UU yang telah berlaku dan mengikat umum berdampak pada ketidakpastian hukum sehingga berpotensi mencederai hak konstitusional warga negara. Karena itu, agak sulit mengategorikan pengujian dalam rangka kesalahan penulisan masuk dalam kotak yang mana.

Terlepas dari pembatasan karakter pengujian UU, dalam praktiknya, MK telah beberapa menjatuhkan putusan yang mengoreksi kesalahan redaksional dalam penyusunan UU.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 diatur tentang larangan dan ketentuan pidana bagi pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa yang membuat keputusan dalam rangka menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam pilkada.

Pelarangan ini disebutkan pada Pasal 80 sementara ketentuan pidananya tercantum pada Pasal 116 ayat (4). Persoalannya adalah bunyi Pasal 116 ayat (4) merujuk pada Pasal 83 bukan Pasal 80. Dalam Putusan Nomor 17/PUU-X/2012, MK mengoreksi rujukan Pasal tersebut demi memberi kepastian hukum.

Yang menarik dalam kasus ini adalah rentang waktu yang cukup panjang antara berlakunya UU ditahun 2004 dan pengajuan permohonan di tahun 2012. Ada jangka waktu selama 8 tahun dimana kesalahan penulisan itu bersembunyi tanpa ada yang mempedulikan keberadaannya.

Selain kasus itu, MK juga pernah mengoreksi penyebutan nomenklatur lembaga pengawas pemilu. UU Nomor 8 Tahun 2015, khususnya pada Pasal 22b huruf b, menyebut istilah Bawaslu Kabupaten/Kota. Pada Putusan 51/PUU-XIII/2015, MK mengoreksi istilah Bawaslu Kabupaten/Kota menjadi Panwaslu Kabupaten/Kota. MK berpendapat bahwa telah terjadi kesalahan redaksional dalam penyusunan UU tersebut.

Dengan merujuk pada beberapa putusan MK tersebut, koreksi atas kesalahan penulisan dalam UU sejatinya merupakan hal lumrah dalam praktek peradilan konstitusi di Indonesia meski tidak secara tegas mengadopsi doktrin scrivener’s errror. Namun, dimungkinkannya perbaikan terhadap kesalahan penulisan dalam penyusunan UU Cipta Kerja melalui mekanisme uji konstitusional tidak berarti menutup cacat-cacat prosedural lainnya yang kemungkinan bersifat lebih fatal dan tidak bisa ditoleransi, bahkan dalam ukuran prosedur konstitusionalitasnya. 

PENGIRIM/PENULIS: Bisariyadi, Mahasiswa Program Doktor dan Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement