Jumat 06 Nov 2020 04:03 WIB

Tingkatkan Martabat Kemanusiaan di Era Disrupsi

Nilai agama harus diterapkan secara operasional.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
 Tingkatkan Martabat Kemanusiaan di Era Disrupsi. Foto: Rumah ibadah (Ilustrasi)
Tingkatkan Martabat Kemanusiaan di Era Disrupsi. Foto: Rumah ibadah (Ilustrasi)

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Litbang Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama, Muhammad Adlin Sila, agenda International Symposium on Religious Life (ISRL) 2020 memberi kontribusi tentang bagaimana nilai dan etika agama meningkatkan martabat kemanusiaan. Terutama di era disrupsi sekarang ini.

"Sehingga apapun tantangan zamannya, misalnya impact dari internet ini seperti hoaks dan bergesernya otoritas keagamaan dari yang tradisional ke media sosial yang serba instan seperti youtube dan instagaram, agama tetap menyumbang sesuatu yang meningkatkan martabat kemanusiaan," kata dia seusai menutup simposium, Kamis (5/11).

Baca Juga

Nilai-nilai agama, lanjut Adlin, harus diterjemahkan secara sederhana dan operasional sehingga bisa menjadi etika yang bisa dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. "Jadi tidak berhenti di langit-langit pengetahuan saja atau di kitab-kitab suci saja, tetapi bagaimana nilai-nilai agama bisa diamalkan oleh umat beragama," katanya.

Adlin mengambil contoh tentang sikap umat beragama terhadap pandemi wabah Covid-19 ini. Ada sebagian yang menganggap pandemi merupakan bentuk konspirasi untuk mendiskreditkan kelompok agama tertentu. Wacana konspirasi ini tentu harus dilihat apakah pandemi baru pertama kali terjadi sekarang atau pernah dialami umat terdahulu.

"Kita ketahui bahwa wabah ini juga telah dialami umat-umat terdahulu. Maka bisa dilihat apakah sikap-sikap umat beragama saat ini belajar dari sikap yang dimbil oleh umat terdahulu dalam menghadapi wabah," jelasnya.

Adlin melihat, ada pandangan dari kelompok agama yang menganggap wabah Covid-19 ini sebagai cobaan sehingga harus tetap berdoa supaya virus ini diangkat. Dengan demikian, menurut pandangan itu, seharusnya tidak ada larangan untuk beribadah ke masjid. Sedangkan kelompok saintis menganggap pandangan tersebut sebagai bentuk resistensi umat beragama terhadap sains.

Karenanya, menurut Adlin, dalam konteks itu diperlukan kerja sama antara kelompok saintis dan kelompok agama dalam rangka mengangkat martabat kemanusiaan. Sebab, mereka tidak bisa berjalan masing-masing. Dia juga mengingatkan supaya tidak ada yang merasa paling unggul.

"Yang kita inginkan adalah kerja sama di antara dua kelompok itu. Kelompok agama tidak bisa sendirian mengangkat nilai kemanusiaan, karena Islam juga menekankan untuk menggunakan akalnya," ujarnya.

Lebih lanjut, Adlin mengatakan, hasil penelitian yang dipaparkan pada simposium ini akan digunakan Kementerian Agama sebagai rujukan saat mengambil kebijakan dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Apalagi FKUB tingkat nasional sendiri sudah diumumkan oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

"(Hasil simposium) ini harus menjadi basis untuk mengambil kebijakan bagi pemerintah khususnya Kementerian Agama. Kemarin misalnya Pak Wapres Ma'ruf Amin mendeklarasikan FKUB nasional. Kita harapkan menjadi forum yang menyalurkan aspirasi kelompok-kelompok umat beragama sebagai ujung tombak kebaikan moderasi beragama di tingkat akar rumput," ucap Adlin.

Simposium ini digelar setiap dua tahun dan sudah memasuki yang ketiga kalinya. Simposium digelar dengan berkolaborasi bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Peneliti Agama Indonesia (APAI), Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS-UGM).

Sejak awal diadakan, simposium ini memang fokus pada kehidupan keagamaan sehingga menyoroti semua aspek. Tahun ini menyoroti kehidupan keagamaan di era disrupsi mulai dari hadirnya teknologi digital, media sosial, hingga pandemi Covid-19.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement