Kamis 05 Nov 2020 18:26 WIB

Formappi: DPR tak Dapat Selesaikan RUU Prolegnas Prioritas

Dari target 35 RUU dalam Prolegnas Prioritas 2020, hanya dua yang diselesaikan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar / Red: Ratna Puspita
Kinerja legislasi DPR RI (Ilustrasi). Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai bahwa DPR tak dapat menyelesaikan target 35 RUU yang ada dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
Foto: Republika/Mardiah
Kinerja legislasi DPR RI (Ilustrasi). Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai bahwa DPR tak dapat menyelesaikan target 35 RUU yang ada dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai bahwa DPR tak dapat menyelesaikan target 35 RUU yang ada dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Hal ini terlihat hingga berakhirnya masa sidang I, yang hanya menyelesaikan dua RUU, yaitu RUU Cipta Kerja dan RUU Bea Materai.

Dari 35 RUU yang belum diselesaikan, hanya 11 RUU yang masih mungkin bisa diselesaikan DPR hingga akhir tahun. Sebab, 11 RUU itu sudah memasuki tahapan pembentukan, mulai dari penyusunan hingga pembahasan.

Baca Juga

“Sedangkan 24 RUU Prioritas lainnya yang belum digarap sama sekali sangat sulit mengharapkan penyelesaiannya,” ujar peneliti Formapp I Made Leo Wiratma dalam rilis daringnya, Kamis (5/11).

Kendati tidak mencapai target RUU Prolegnas Prioritas 2020, DPR menyetujui lima RUU kumulatif terbuka. Yakni, RUU APBN 2021, RUU Kerja Sama antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Swedia di Bidang Pertahanan, dan RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Serta, RUU tentang Protokol Untuk Melaksanakan Komitmen Paket Ketujuh Dalam Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di Bidang Jasa Keuangan dan RUU Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN 2019.

Formappi juga menyoroti proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang diklaim DPR berlangsung transparan dan menyerap aspirasi publik. Namun, hal itu dinilai hanya formalitas yang dilakukan lembaga tersebut.

“Pembahasan pun dilakukan tergesa-gesa dalam waktu yang sangat singkat, bahkan di masa pandemi. Hal ini tidak biasa atau abnormal karena pembahasan sebuah RUU biasanya membutuhkan waktu yang panjang,” ujar Leo.

Hal inilah yang menjadi penyebab masyarakat menaruh curiga terhadap semua proses dalam pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Sebab, dalam regulasi sapu jagat itu menampung kepentingan politik dan pesan sponsor dari pengusungnya.

“Beberapa RUU lain seperti RUU Minerba, RUU KPK, dan RUU MK bisa menjadi contoh bagaimana dorongan kepentingan sepihak DPR dan Pemerintah. Seringnya pembahasan RUU kontroversial seolah-olah menjadi era normal baru bagi DPR,” ujar Leo.

Kinerja DPR pada Masa Sidang I Tahun Sidang 2020-2021 cenderung sangat lunak. Bahkan, Ketua DPR RI Puan Maharani disebutnya hanya bertindak sebagai juru bicara pemerintah.

“Ketua DPR justru lebih berperan sebagai juru bicara pemerintah, ketimbang juru terang lembaga yang dipimpinnya,” ujar Leo.

Pimpinan DPR, kata Leo, sesungguhnya telah memberikan arahan yang benar bagi DPR dalam menjalankan fungsinya. Namun, peran mereka tak terlihat ketika lembaga legislatif itu menuju arah yang salah. “Pengawasan DPR dalam segala aspek biasa saja, bahkan cenderung sangat lunak,” ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement