Kamis 05 Nov 2020 00:30 WIB

UU Cipta Kerja tak Penuhi Azas Kepastian Hukum

UU Cipta Kerja mengandung beberapa ketidaksinkronan materi muatan.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andi Nur Aminah
Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia UII,  Allan Fatchan Gani
Foto: dok UII
Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia UII, Allan Fatchan Gani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menilai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Ciptaker) tak memenuhi azas kepastian hukum Omnibus Law tersebut juga dinilai tak memenuhi azas kejelasan rumusan. "Hal ini karena UU Cipta Kerja mengandung beberapa ketidaksinkronan materi muatan antara pasal per pasal maupun di dalam pasal," kata Direktur PSHK UII  Allan Fatchan Gani terkait permasalahan dalam UU Cipta Kerja yang diterima Republika.co.id, Rabu (4/11).

Ketidaksinkronan itu, menurut direktur PSHK UII terlihat jelas dalam ketentuan Pasal 6 UU Cipta Kerja. Pasal itu menyatakan bahwa, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi: penerapan perizinan berusaha berbasis risiko;  Penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; Penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan Penyederhanaan persyaratan investasi.

Baca Juga

Padahal, UU Cipta Kerja sama sekali tidak memuat adanya Pasal 5 ayat (1) huruf a. UU Cipta Kerja hanya memuat adanya Pasal 5 yang menyatakan ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait. 

Menurut Allan, adanya ketidaksinkronan tersebut menyebabkan empat tindakan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a tidak memiliki dasar hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Kemudian, PSHK UII juga menyoroti ketentuan Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 53 sepanjang ayat (5) UU 30 Tahun 2014 (UU Administrasi Pemerintahan) yang menyatakan bahwa, ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden. 

Padahal, pengaturan terkait keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum akibat dari asas fiktif positif tersebut tidak diatur dalam ayat (3), namun diatur dalam ayat (4) yang menyatakan apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum. 

Allan menekankan, adanya ketidaksinkronan materi muatan tersebut menyebabkan UU Cipta Kerja tidak memenuhi azas ketertiban dan kepastian hukum, serta Azas kejelasan rumusan. 

UU Cipta Kerja menurut PSHK UII tidak memenuhi asas ketertiban dan kepastian hukum yang menyatakan bahwa setiap materi muatan undang-undang harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.  UU Cipta Kerja juga tidak memenuhi asas kejelasan rumusan yang menyatakan bahwa setiap materi muatan undang-undang harus memenuhi syarat teknis penyusunan undang-undang serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti. "Sehingga tidak menimbulkan berbagai macam intepretasi dalam pelaksanaannya," kata Allan menyimpulkan. 

Sebagaimana diketahui, Jokowi resmi mengundang an UU Cipta Kerja setelah menandatangani UU tersebut pada 2 November 2020 lalu. Meski sudah diundangkan, ternyata masih ditemui berbagai kesalahan dalam UU tersebut. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement