Rabu 04 Nov 2020 12:27 WIB

'Salah Ketik UU Beberapa Kali Terjadi, Tapi Ini Beda'

Salah ketik UU Ciptaker dinilai terjadi karena faktor terburu-buru.

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Cipayung Plus Mataram berunjuk rasa di depan kantor Gubernur NTB di Mataram, NTB, Selasa (3/11/2020). Dalam orasinya ratusan pengunjukrasa tersebut menolak ditekennya Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo menjadi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Foto: ANTARA/Ahmad Subaidi
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Cipayung Plus Mataram berunjuk rasa di depan kantor Gubernur NTB di Mataram, NTB, Selasa (3/11/2020). Dalam orasinya ratusan pengunjukrasa tersebut menolak ditekennya Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo menjadi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Arif Satrio Nugroho, Nawir Arsyad Akbar, Dessy Suciati Saputri

Undang-Undang yang disahkan dengan kesalahan pengetikan membuat UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 kembali menuai polemik. Pemerintah lewat Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menyebut sejumlah kesalahan yang ditemukan di dalam UU Cipta Kerja (Ciptaker) merupakan masalah teknis administratif. Akibatnya, tidak ada pengaruhnya terhadap implementasi aturan.

Baca Juga

Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan kesalahan ketik dalam naskah undang-undang telah beberapa kali terjadi. Namun, kesalahan ketika pada kasus UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berbeda dari yang sebelumnya.

"Selama ini adanya salah ketik dalam naskah yang telah disetujui bersama antara Presiden dan DPR dan dikirim ke Sekretariat Negara telah beberapa kali terjadi," ujar Yusril kepada Republika, Rabu (4/11).

Biasanya, kata dia, Mensesneg segera melakukan pembicaraan informal dengan DPR untuk melakukan perbaikan teknis setelah menemui kesalahan ketik saat memmbaca rancangan UU secara teliti sebelum diajukan ke presiden. Setelah diperbaiki, barulah kemudian diajukan ke Presiden dengan memo dan catatan dari Mensesneg.

"Kesalahan ketik kali ini memang beda. Kesalahan itu baru diketahui setelah Presiden menandatanganinya dan naskahnya telah diundangkan dalam lembaran negara," kata dia.

Yusril juga mengatakan, banyaknya kesalahan pengetikan terjadi karena proses pembentukan UU yang dilakukan tergesa-gesa. Proses yang tergesa-gesa itu menyebabkan asas kecermatan terabaikan. Namun, UU yang banyak kesalahan ketiknya itu sudah ditandatangani Presiden dan sudah diundangkan dalam lembaran negara.

Dia berpendapat, jika kesalahan itu hanya berupa salah ketik saja, tanpa membawa pengaruh kepada norma yang diatur dalam UU, maka Presiden dan pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik seperti itu. "Presiden dapat diwakilkan Menko Polhukam, Menkumham, atau Mensesneg," kata Yusril.

"Naskah yang telah diperbaiki itu nantinya diumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan sebagai rujukan resmi. Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah UU yang sudah diperbaiki salah ketiknya itu," ujar Yusril.

Yusril lalu menyarankan pemerintah agar membentuk tim untuk mengkaji dan menampung aspirasi masyarakat yang tak puas. Pemerintah harus berani berdialog dengan rakyat yang tidak puas dengan adanya UU tersebut.

"Ada baiknya jika pemerintah membentuk tim untuk mengkaji dan sekaligus menampung aspirasi masyarakat yang tidak puas atas UU ini," ujar Yusril. Langkah itu penting dilakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat pemerintah tanggap terhadap aspirasi dan sadar UU Nomor 11 Tahun 2020 itu perlu disempurnakan. Dia menilai, terjadinya demo besar-besaran di berbagai kota tidaklah dapat dipandang sepi.

"Aspirasi para pekerja, akademisi, aktivis sosial dan mahasiswa sangat perlu mendapat tanggapan pemerintah sebagai pelaksanaan demokrasi," kata dia.

Pemerintah, kata Yusril, harus punya keberanian berdialog dengan elemen masyarakat yang tidak puas dengan UU Cipta Kerja. Menurut dia, dengan dialog itu pemerintah akan menyadari, UU Cipta Kerja mengandung banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dan disempurnakan.

"Tim Penampung Aspirasi ini juga dapat menerima sebanyak mungkin masukan elemen-elemen masyarakat dalam menyusun begitu banyak Peraturan Pemerintah yang diperlukan untuk menjalankan UU Cipta Kerja ini," ungkap Yusril.

Dialog untuk menerima masukan tersebut sekaligus juga berfungsi untuk menjelaskan hal-hal yang memang perlu dijelaskan kepada masyarakat. Dia mengatakan, seringkali elemen-elemen masyarakat komplain, protes dan menolak sesuatu tanpa pemahaman yang memadai soal apa yang mereka tentang.

Yusril menyebutkan, pada zaman teknologi informasi yang berkembang demikian canggih seperti saat ini semakin banyak orang yang malas membaca dan menelaah sesuatu dengan mendalam. Pemahaman itu dibentuk oleh tulisan-tulisan singkat dan audio-visual yang terkadang memelesetkan sesuatu sehingga jauh dari apa yang sesungguhnya harus dipahami.

"Tugas pemerintah adalah menjelaskan segala sesuatu yang terkait dengan UU Ciptaker ini dengan bahasa yang mudah dipahami semua kalangan. Tugas itu memang melelahkan, tetapi pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali melakukannya," jelas dia.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan kesalahan ketik atau typo dalam UU Ciptaker pernah terjadi pada undang-undang lainnya. Pertama, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kedua, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung.

"Kedua undang-undang tersebut diperbaiki pada distribusi kedua naskah resmi yang disebarluaskan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan terkait," ujar Willy saat dikonfirmasi, Rabu (4/11).

Ia melanjutkan, mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kesalahan redaksional pada UU Cipta Kerja masih dapat diperbaiki. "Kesalahan ketik seperti dicontohkan masih dapat diperbaiki meskipun RUU telah disahkan dan diundangkan," ujar Willy.

Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Mulyanto mendorong pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan UU Ciptaker. Langkah tersebut dinilai logis sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah untuk menyudahi berbagai kekeliruan dalam proses dan hasil akhirnya.

"Gonta-ganti naskah dan sekarang setelah ditandatangani Presiden masih ada berbagai kesalahan. Jadi langkah yang bijak menurut saya, pemerintah segera menerbitkan Perppu pembatalan UU Cipta Kerja sebagai bentuk pertanggungjawaban politik kepada rakyat,” ujar Mulyanto.

Sejak awal, UU Ciptaker sudah menuai masalah dari berbagai kelompok masyarakat. Ditambah dengan pembahasan yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah yang terkesan buru-buru dan tak transparan.

“Ini adalah pengalaman buruk dalam pembentukan perundangan-perundangan. Sepanjang umur berdirinya Republik ini,” ujar Mulyanto.

Pemerintah diminta tidak memaksakan kehendak untuk mempertahankan UU Ciptaker tersebut. Jika masyarakat menjadi prioritas, sebaiknya pemerintah menerbitkan Perppu untuk membatalkan regulasi sapu jagat tersebut.

"Dengan Perppu maka secara keseluruhan UU ini bisa dibatalkan dalam waktu yang relatif singkat," ujar anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR itu.

Sedangkan Fraksi Partai Demokrat menyatakan siap mengajukan uji legislasi atau Legislative review terhadap UU Ciptaker. "Sebagai bagian dari sikap Demokrat yang menolak persetujuan RUU Cipta kerja di rapat paripurna DPR, tentu kami akan menyiapkan langkah-langkah legislative review melalui tata cara dan mekanisme yang diatur dalam UU," kata Anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat Didik Mukrianto melalui pesan singkat.

Menurut Didik, Partai Demokrat menyadari bahwa langkah-langkah yang tersedia adalah melakukan legislative review. "Kami sangat menghormati dan secara moral mendukung segenap pihak yang punya kesamaan pandang dengan Demokrat untuk berjuang dalam jalur konstitusi dan undang-undang," ujar dia. Setelah disahkan ini, kata Didik, maka ruang dan standingnya terbuka untuk dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam naskah UU Ciptaker yang sudah ditandatangani Presiden, terdapat kesalahan di Pasal 6 yang berbunyi, "Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi; a. penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; b. penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; c. penyederhanaan perizinan berusaha sektor, dan d. penyederhanaan persyaratan investasi."

Janggalnya, Pasal 6 UU Cipta Kerja merujuk Pasal 5 ayat (1). Tetapi, Pasal 5 tidak memiliki satu ayat pun. Penjelasan Pasal 5 UU Cipta Kerja hanya berbunyi, "Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.”

Kesalahan lainnya terdapat di Pasal 53 pada halaman 757. Pada ayat (5) yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

Ayat 5 Pasal 53 seharusnya merujuk pada ayat 4 bukan 3 seperti yang tertulis dalam naskah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Mensesneg, Pratikno, menyebut sejumlah kesalahan yang ditemukan di dalam UU Ciptaker merupakan masalah teknis administratif. “Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja,” ujar Pratikno kepada wartawan, Selasa (3/11).

Ia menjelaskan, sebelumnya, Kementerian Sekretariat Negara juga telah melakukan review dan menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR. Namun, kekeliruan tersebut telah disampaikan kepada Sekretariat Jenderal DPR untuk disepakati perbaikannya.

Kesalahan yang ditemukan kembali setelah UU Cipta Kerja ditandatangani Presiden Jokowi inipun juga disebutnya merupakan kesalahan teknis penulisan. Ia berjanji, kekeliruan teknis ini akan menjadi catatan dan masukan bagi pemerintah untuk terus menyempurnakan kualitas RUU yang akan diundangkan.

“Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini tidak terulang lagi,” kata Pratikno.

photo
UU Cipta Kerja masih butuh aturan turunan - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement