Rabu 04 Nov 2020 10:16 WIB

Remdesivir, Disangsikan WHO Namun Makin Banyak Digunakan

Jerman menjadi negara terkini yang memutuskan menambah pasokan Remdesivir.

Obat Remdesivir yang salah satu kegunaannya adalah untuk pasien Covid-19.
Foto: EPA-EFE/SASCHA STEINBACH
Obat Remdesivir yang salah satu kegunaannya adalah untuk pasien Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adysha Citra Ramadhani, Puti Almas, Antara

Hampir setahun setelah penyakit corona jenis baru ditemukan, ramuan obat paten untuk mengobati Covid-19 belum ada. Dokter mengandalkan sejumlah obat yang diketahui bisa mengurangi gejala Covid-19, salah satunya adalag Remdesivir.

Baca Juga

WHO beberapa waktu lalu sudah mengutarakan kalau Remdesivir tidak cukup efektif mengobati pasien Covid-19. Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn pada Selasa (3/11) namun mengumumkan mempertahankan keputusannya untuk membeli pasokan tambahan Remdesivir guna mengobati Covid-19. Menurut dia, obat antivirus buatan Gilead itu bermanfaat, terutama di awal perjalanan penyakit.

"Karena dapat diterima di beberapa kondisi dan karena tingginya kebutuhan, kami telah mengamankan pasokan tambahan Remdesivir," kata Spahn saat konferensi pers.

Jerman pada Senin mengatakan telah meminta sekitar 5 persen dari pasokan Remdesivir di bawah kontrak Uni Eropa dan Gilead selama enam bulan, meski kontrak tersebut dikritik lantaran minimnya bukti keampuhan Remdesivir dalam pengobatan Covid-19.

Para pakar telah meminta Brussels agar menegosiasikan kontrak senilai 1 miliar euro (sekitar Rp 17 triliun) yang disepakati bulan lalu setelah Remdesivir menunjukkan hasil yang buruk dalam uji klinis berskala besar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Ketua asosiasi DIVI Jerman untuk perawatan intensif, Uwe Janssens, mengatakan Uji Klinis Solidaritas WHO tentang Remdesivir belum dilakukan tinjauan sejawat oleh pakar eksternal. "Inilah alasan bagi kami untuk melihatnya secara hati-hati," katanya, seraya mengatakan bahwa dirinya yakin bahwa penggunaan Remdesivir dalam tahap awal pengobatan dapat diterima. Para dokter Swiss mengatakan kepada Reuters bahwa mereka juga masih menggunakan Remdesivir di rumah sakit.

Bulan lalu, studi berskala besar yang dibiayai oleh WHO menemukan Remdesivir tidak begitu membantu pasien Covid-19. Temuan ini bertolak belakang dengan klaim dari studi-studi berskala lebih kecil yang telah lebih dulu dilakukan.

Dalam studi-studi yang sudah dilakukan lebih awal, Remdesivir dikatakan dapat mendorong pasien Covid-19 pulih lebih cepat. Studi-studi ini mendorong FDA untuk memberikan otorisasi penggunaan darurat untuk obat antivirus tersebut dalam penanganan pasien Covid-19 di Amerika Serikat.

Akan tetapi, hasil yang sama tak ditemukan dalam studi berskala besar yang dibiayai oleh WHO. Studi yang dilakukan sejak 22 Maret hingga 4 Oktober ini melibatkan 11.330 pasien dari 405 rumah sakit di 30 negara.

Para pasien dalam studi ini mendapatkan obat Remdesivir, Hydroxychloroquine, Lopinavir, dan Interferon secara tunggal atau kombinasi. Menurut tim peneliti, regimen obat ini menunjukkan efek yang kecil atau bahkan tanpa efek ketika diberikan kepada pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.

"Yang ditunjukkan melalui keseluruhan mortalitas, inisiasi ventilasi, dan durasi rawat inap," jelas tim peneliti, seperti dilansir WebMD.

Temuan terbaru ini telah diunggah dalam server pracetak medRxiv. Akan tetapi, temuan baru dari studi berskala besar ini belum mendapatkan peninjauan sejawat atau dipublikasikan di jurnal ilmiah.

Terkait temuan baru ini, perusahaan farmasi pembuat Remdesivir Gilead Sciences memberikan pembelaan. Menurut Gilead Sciences, studi terkontrol yang telah dipublikasikan dalam jurnal-jurnal yang mendapatkan peninjauan sejawat telah memvalidasi manfaat dari obat tersebut.

Gilead Sciences jutru mempertanyakan bagaimana studi terbaru ini dilakukan. Menurut Gilead Sciences, studi terbaru ini memiliki beragam variasi dalam adopsi percobaan, implementasi, kontrol, dan populasi pasien.

"Tak jelas apakah ada temuan konklusif yang bisa diambil dari hasil-hasil studi tersebut," jelas Gilead Sciences.

Remdesivir sendiri sebelumnya dikembangkan untuk mengobati Ebola. Di masa pandemi ini, obat tersebut digunakan untuk keperluan lain yaitu mengatasi infeksi virus corona.

Associate research professor dari Departemen Ilmu Mikrobiologi dan Imunologi di Georgetown University Julie Fischer menilai temuan terbaru ini memunculkan kekecewaan. Fischer menilai ada banyak orang yang berharap bahwa obat yang sudah ada seperti Remdesivir dapat menjadi "magic bullet" untuk merawat pasien secara aman dan efektif. "Sayangnya, dalam hal ini, percobaan ini setidaknya menunjukkan abhwa manfaat dari Remdesivir mungkin tidak ada," ujar Fischer.

FDA telah memberikan otorisasi penggunaan darurat pada Remdesivir pada April 2020. Saat itu FDA mengatakan informasi mengenai keamanan dan efektivitas penggunaan Remdesivir dalam menangani pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit memang masih terbatas. Akan tetapi, uji klinis menunjukkan penggunaan obat ini dapat memperpendek masa pemulihan pada sebagian pasien.

Uji klinis terhadap sekitar 1.000 pasien yang dilakukan National Institutes of Health (NIH) juga menemukan bahwa Remdesivir dapat memperpendek masa pemulihan pada sekitar 31 persen pasien. NIH juga menyatakan bahwa angka mortalitas pasien Covid-19 yang mendapatkan Remdesivir lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.

"Dengan tingkat mortalitas 8 persen pada kelompok yang menerima remdesivir dibandingkan dengan 11,6 persen pada kelompok placebo," pungkas NIH.

Meski WHO menilai Remdesivir tidak efektif, Amerika lewat FDA masih mengizinkan penggunaan obat antivirus Remdesivir produksi Gilead untuk pasien rawat inap Covid-19. Ini menjadi obat Remdesivir pertama dan satu-satunya yang disetujui di AS, mengutip Reuters, Jumat (23/10).

Remdesivir, yang diberikan secara intravena, merupakan salah satu obat yang digunakan untuk mengobati Presiden AS, Donald Trump, selama melawan Covid-19. Obat tersebut mengantongi izin penggunaan darurat dari FDA sejak Mei, setelah riset yang dipimpin oleh Institut Kesehatan Nasional menunjukkan bahwa Remdesivir mengurangi waktu rawat inap hingga lima hari.

Remdesivir yang akan dijual dengan nama merek Veklury, dihargai 3.120 dolar AS (sekitar Rp 45 juta) untuk pengobatan Covid-19 selama lima hari. Atau 2.340 dolar AS (sekitar Rp 34 juta) untuk pembeli kalangan pemerintah seperti Departemen Urusan Veteran.

Gilead mengaku, saat ini sedang memenuhi permintaan obat di AS dan mengantisipasi pemenuhan global hingga akhir Oktober. Gilead mengatakan, obat buatan mereka mengantongi persetujuan regulasi atau penggunaan darurat di sekitar 50 negara lainnya.

Pada hari yang sama, FDA juga mengeluarkan izin baru penggunaan darurat Remdesivir untuk mengobati pasien anak di bawah usai 12 tahun, yang berat badannya cukup untuk menerima obat intravena. Namun, Gilead masih berupaya mempelajari potensi penuh dari Veklury, pada kondisi yang berbeda dan sebagai bagian dari prosedur pengobatan gabungan.

Dari Rusia dilaporkan, produsen obat Rusia Pharmasyntez telah meminta izin Kremlin untuk memproduksi versi generik obat Covid-19 Remdesivir dari perusahaan Gilead Sciences Amerika Serikat tanpa hak paten. Pharmasyntez, yang berbasis di Siberia, sebelumnya mendekati Gilead guna meminta izin sukarela untuk memproduksi dan mendistribusikan obat tersebut di Rusia, kata direktur Pharmasyntez, Vikram Punia, kepada Reuters tahun ini.

Namun Pharmasyntez tidak dapat memproduksi obat tersebut karena dilindungi oleh hak paten. Gilead tidak menanggapi permintaan lisensi sukarela itu, menurut laporan Vedomosti yang mengutip surat yang dikirim oleh Punia ke beberapa kementerian Rusia. Pharmasyntez sejauh ini belum menanggapi permintaan komentar.

Perusahaan farmasi Rusia itu telah menyelesaikan uji klinis obat generik, berlabel Remdeform, pada 300 pasien di 23 rumah sakit di Rusia, berdasarkan sebuah daftar masuk. Gilead memberikan izin hak paten tersebut untuk memproduksi obat Remdesivir buatannya kepada produsen di 127 negara.

Izin itu sebagian besar diberikan kepada negara-negara berpenghasilan rendah atau negara yang mengalami hambatan signifikan lainnya pada akses perawatan kesehatan, kata Gilead. Vedomosti melaporkan Punia dalam suratnya meminta pemerintah Rusia untuk mengaktifkan proses lisensi wajib.

photo
Daftar obat yang diberikan untuk pasien Covid-19. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement