Selasa 03 Nov 2020 19:06 WIB

Komjak Pertanyakan Hilangnya Pasal Suap Dakwaan Andi Irfan

Ada dugaan praktik melokalisir keterlibatan pihak lain di skandal hukum Andi Irfan.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono (kiri) dan Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak (kanan).
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono (kiri) dan Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Kejaksaan (Komjak) mempertanyakan hilangnya Pasal 6 ayat (1) a UU Tipikor dalam dakwaan Andi Irfan Jaya. Ketua Komjak Barita Simanjuntak menilai, hilangnya tuduhan suap-gratifikasi hakim untuk politikus Nasdem itu, menguatkan dugaan publik tentang praktik melokalisir keterlibatan pihak-pihak lain yang diduga terlibat di pusaran skandal  hukum Djoko Tjandra.

Komjak, kata Barita, meminta tim penuntutan Jaksa Agug Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) tetap memasukkan sangkaan Pasal 6 ayat (1) a dalam dakwaan Andi Irfan Jaya. “Ini (hilangnya Pasal 6), bagian dari monitoring, dan evaluasi yang akan kita (Komjak) lakukan. Komisi Kejaksaan akan mempertanyakan hilangnya pasal itu dalam dakwaan AI (Andi Irfan),” kata Barita saat dihubungi dari Jakarta, pada Selasa (3/11).

Komjak, memang tak punya kewenangan, pun tak dapat melakukan intervensi terkait proses penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan kejaksaan. Keterbatasan peran tersebut, karena, Peraturan Presiden (Perpres) 18/2011, yang melarang Komjak memengaruhi kemandirian jaksa melakukan penyidikan, pun penuntutan. Tetapi, Komjak, dikatakan Barita punya fungsi pengawasan, dan evaluasi kinerja penuntutan.

Sebab itu, kata Barita, Komjak akan tetap melakukan evaluasi terhadap kejaksaan yang menghilangkan sangkaan Pasal 6 tersebut. Namun ujar Barita, evaluasi baru dapat dilakukan setelah penuntutan Andi Irfan dilakukan. “Kita (Komjak) akan mendengarkan dulu penjelasan jaksa, mengapa Pasal 6 itu tidak dimasukkan dalam dakwaan. Untuk audit, baru dapat kita lakukan setelah adanya penuntutan,” kata Barita.

Barita mengungkapkan, penerapan Pasal 6 ayat (1) a terhadap Andi Irfan Jaya, sempat disinggung dalam gelar perkara bersama JAM Pidsus, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), September lalu. Penyidikan di JAM Pidsus, waktu itu menerangkan duduk perkara kasus Djoko Tjandra yang menyeret jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai tersangka. 

Meskipun, saat gelar perkara itu penyidik fokus pada peran Pinangki. Namun, jaksa meyakini, adanya permufakatan jahat bersama Andi Irfan untuk pengurusan fatwa MA. “Konteksnya, adalah adanya permufakatan jahat yang melibatkan hakim di MA itu. Karena objeknya, adalah pengurusan fatwa MA,” terang Barita.

Tersangka Andi Irfan Jaya, akan menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, Rabu (4/11). Menengok laman SIPP PN Tipikor, Andi Irfan, akan didakwa dengan dua sangkaan kumulatif. Primer pertama, JPU akan mendakwa Andi Irfan dengan Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) a UU Tipikor 31/1999-20/2001 juncto Pasal 56 ke-1 KUH Pidana. Primer kedua, JPU menebalkan sangkaan Pasal 11 UU Tipikor.

Kordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menuding, tak diterapkannya sangkaan suap-gratifikasi hakim untuk kader Nasdem tersebut, upaya kejaksaan agar kasus tersebut, tak melebar kemana-mana. “Ini (hilangnya Pasal 6) memang tampaknya untuk melokalisir kasus ini, supaya tidak merebak kemana-mana,” kata Boyamin “Kita patut curiga, itu (hilangnya Pasal 6) untuk ada yang dilindungi,” sambung dia.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono menerangkan, hilangnya Pasal 6 dalam dakwaan Andi Irfan, karena penyidik tak menemukan bukti adanya suap kepada hakim di MA. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement