Selasa 03 Nov 2020 11:55 WIB

Penyatuan Kalender Islam: Nasional, Regional, dan Global

Problematika penyatuan kalender Islam di tanah air mengemuka sejak sebelum 1945.

Penyatuan Kalender Islam: Nasional, Regional, dan Global. Pedagang Palestina menghiasi kiosnya dengan lampu berwarna untuk dijual menjelang bulan suci Ramadhan di Kota Nablus, Kamis (23/4). Umat Muslim di seluruh dunia bersiap untuk merayakan bulan suci Ramadhan dengan berdoa pada malam hari dan tidak makan, minum, dan melakukan hubungan seksual selama matahari terbit hingga terbenam. Ramadhan adalah bulan kesembilan dalam kalender Islam dan diyakini bahwa wahyu ayat pertama dalam Quran saat 10 malam terakhir.
Foto: EPA-EFE / ALAA BADARNEH
Penyatuan Kalender Islam: Nasional, Regional, dan Global. Pedagang Palestina menghiasi kiosnya dengan lampu berwarna untuk dijual menjelang bulan suci Ramadhan di Kota Nablus, Kamis (23/4). Umat Muslim di seluruh dunia bersiap untuk merayakan bulan suci Ramadhan dengan berdoa pada malam hari dan tidak makan, minum, dan melakukan hubungan seksual selama matahari terbit hingga terbenam. Ramadhan adalah bulan kesembilan dalam kalender Islam dan diyakini bahwa wahyu ayat pertama dalam Quran saat 10 malam terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

JAKARTA -- Diskursus tentang penyatuan kalender Islam terus mengemuka, negara-negara di dunia terutama negara dengan mayoritas Muslim mulai intens mengkaji persoalan ini. Dalam perkembangannya, sejumlah konsep dan kriteria dalam rangka perumusan kalender Islam terus berkembang, demikian lagi tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir tentangnya juga terus bermunculan.

Baca Juga

Jika ditelaah, setidaknya ada tiga skup model penyatuan kalender Islam yang berkembang di dunia saat ini, yaitu penyatuan dalam tingkat nasional, penyatuan dalam tingkat regional, dan penyatuan dalam tingkat dunia (global). Penyatuan tingkat nasional bermakna penyatuan kalender Islam di satu negara diberlakukan untuk satu negara tertentu pula, tanpa mengikat kepada negara lainnya.

Dalam kenyataannya, penyatuan tingkat lokal-nasional ini merupakan problem klasik umat Islam yang belum usai sampai hari ini, khususnya di Indonesia. Dalam konteks Indonesia, persoalan penyatuan kalender Islam (khususnya terkait momen awal puasa, idul fitri, dan idul adha) terus berlangsung dan belum menunjukkan indikasi usai dan menemukan titik kesepakatan dan kesepahaman.

Bahkan secara historis, problematika penentuan dan penyatuan kalender Islam di tanah air telah ada dan mengemuka sejak zaman pra-kemerdekaan atau sebelum tahun 1945, sebagaimana ditunjukkan dalam sejumlah dokumen dan literatur. Sementara itu, penyatuan dalam tingkat regional bermakna bahwa penerapan sebuah konsep kalender Islam digunakan, diterapkan, dan disepakati oleh beberapa negara di suatu kawasan tertentu.

Misalnya, dalam skup regional Asia Tenggara atau yang lebih dikenal dalam skup kawasan forum Menteri-Menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS). Misalnya lagi penyatuan dalam skup teritorial kawasan Amerika, Eropa, dan seterusnya.

Sama halnnya dengan penyatuan tingkat nasional, penyatuan dalam tingkat regional inipun masih mengalami kendala dan belum terimplementasikan secara maksimal. Dinamika dan dialektika tentang konsep, kriteria, dan implementasinya masih dinamis dan dialektis, dimana ada banyak faktor yang melatarinya.

Adapun penyatuan dalam tingkat dunia (global) bermakna bahwa sebuah kalender Islam disepakati dan diterapkan secara menyeluruh dan komprehensif di dunia dan berlaku di seluruh dunia pula. Secara sosio-religius, upaya penyatuan kalender Islam dalam tingkat global terbilang lebih unik dan sangat rumit jika dibandingkan dengan penyatuan dalam tingkat nasional dan regional. Sebab dalam penyatuan global melibatkan seluruh negara di dunia dan meniscayakan negara-negara di dunia itu menerima konsep global tersebut.

Diantara putusan atau konsep kalender yang bergenre dunia (global) adalah putusan Muktamar Turki tahun 2016 dan Rekomendasi Jakarta tahun 2018. Seperti diketahui, dua putusan bertarap internasional ini di Indonesia telah dikaji oleh kalangan peneliti astronomi (ilmu falak) dan masyarakat secara umum, hanya saja sampai saat ini belum diterima dan terimplmentasikan secara masif di seluruh dunia. Lagi-lagi ada banyak faktor yang mengiringi dan melatarinya.

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement