Selasa 03 Nov 2020 09:17 WIB

Beirut, Kota Koeksistensi Damai

Religiusitas dan sekulerisme berdampingan tanpa tedeng aling-aling di Beirut.

Beirut, Kota Koeksistensi Damai. Salah satu sudut Kota Beirut.
Foto: http://www.enfoque10.com
Beirut, Kota Koeksistensi Damai. Salah satu sudut Kota Beirut.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y. Thohari

JAKARTA -- Tidak berlebihan kalau dua bersaudara Lena Kelekian and Hilda Kelekian menggelar sebuah Eksibisi Seni Suci (A Sacred Art) yang diberi judul Beirut, City of Coexistence: A Sacred Art Exhibition (2018). Dalam eksibisi tersebut dua Kelekian bersaudara itu memamerkan ikon-ikon suci Kristen disandingkan dengan seni kaligrafi ayat-ayat suci Al-Quran secara sangat indah dan padu sebagai simbol atau pengejawantahan kehidupan umat beragama di Beirut yang sangat majemuk tetapi penuh harmoni dan toleransi.

Baca Juga

Setidaknya demikianlah yang tampak dan terasa dalam kehidupan sehari-hari di Beirut pasca Perang Saudara (civil war) hampir selama dua dasawarsa di tahun 1975-1989. Tentu tidaklah mudah menyandingkan ekspresi kesenian dari dua agama yang berbeda secara sangat diametral dalam melihat patung atau gambar (ikon).

Islam adalah agama yang sangat ikonoklastik di mana penggunaan patung atau gambar dilarang keras dalam ibadat, sementara Kristen adalah agama yang ikonik atau ikonodulis, yakni agama yang sarat dengan penggunaan ikon atau gambar dalam ritus-ritus liturgisnya. Tapi kedua artis Kelekian bersaudara, seniman kelas atas Lebanon yang sering berkunjung ke Indonesia itu, bisa memadukannya dengan sangat baik dan indah: yakni menampilkan seni Kaligrafi sebagai wakil dari kesenian Islam yang ikonoklastis, dan ikon-ikon atau gambar-gambar orang suci (santo) sebagai wakil dari kesenian Kristen yang ikonodulis.

 

Walhasil Eksibisi A Sacred Art tersebut berhasil menampilkan bukan hanya hakekat kemajemukan, melainkan juga multikulturalisme Beirut dengan apik. Kota Beirut memang berbeda dengan Lebanon dalam hal pluralitas dan multikulturalitasnya. Dengan kata lain Beirut lebih menggambarkan pluralisme dan multikulturalisme daripada kota-kota lain di Lebanon. Lebanon alih-alih lebih segregasionalis, melainkan lebih pluralis dan multikulturalis.

Beirut: lumayan majemuk

Benar memang Lebanon memiliki komposisi penduduk yang secara agama dan sekte majemuk. Jumlah pemeluk dan penganut masing-masing agama, atau tepatnya sekte, nyaris sama dan seimbang secara numerikal. Penduduk Lebanon yang hanya sekitar enam juta jiwa (Catatan: itupun sudah termasuk pengungsi Suriah yang berjumlah 1,1 juta dan Palestina 0,4 juta), 35 % penganut Kristen (dengan segala sektenya: Kristen Maronis, Kristen Armenia, Kristen Ortodox), 28 % Muslim Sunni, 27% muslim Syi’i, dan sisanya adalah Druze, Alawi, Zaidi, dan lain-lainnya.

Dengan sedikit pengecualian di Beirut, masing-masing kota di Lebanon didominasi oleh penganut agama atau sekte tertentu yang cenderung monolitik  secara sektarian. Kota Tripoli, Saidah, Beeka, Arsal, Akkar dan Tyre, misalnya, adalah kota-kota dengan dominasi muslim Sunni.

Adapun Juneh, Zahle, Byblos, Batroon, Ehden, Jgarta, dan Bechara, hanya dihuni oleh penduduk beragama Kristen sesuai dengan sektenya masing-masing. Sementara kota Baalbeck, Nabatiyeh, Marjayun, Naqoura, adalah kota-kota Syiah. Hanya Beirut yang benar-benar merupakan kota metropolitan yang majemuk dan pluralistik secara agama atau sekte.

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement