Selasa 03 Nov 2020 05:00 WIB

Muslim Prancis Merasa Kian Tertekan

Pembunuhan Samuel Paty dan serangan gereja Nice kian melekatkan stigma ke Muslim.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Muslim Prancis (ilustrasi).
Foto: EPA
Muslim Prancis (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Muslim Prancis merasa tertekan dengan serangan-serangan mengerikan bulan lalu. Muslim Prancis semakin dicurigai menyusul dua serangan mematikan yang terjadi dua pekan berturut-turut.

 

Baca Juga

Di sisi lain, Presiden Prancis Emmanuel Macron melanjutkan penindakan kerasnya terhadap Islam radikal. Proyek yang ia sebut memberantas 'separatisme' ini membuat Muslim di Negeri Menara Eiffel kian terjepit.

 

"Ini sangat mengkhawatirkan bagi Muslim, beberapa berbicara mengenai meninggalkan Prancis, situasinya tegang, ada ketakutan di sini," kata sosiolog Hicham Benaissa, seperti dikutip Channel News Asia, Senin (2/11).

 

Ketegangan semakin meningkat setelah pembunuhan guru Samuel Paty ditangan remaja keturunan Chenchen. Disusul serangan di gereja Katolik Nice yang menewaskan tiga orang. Muslim Prancis biasanya tetap menegakkan dagu mereka, tapi tetap saja ada rasa tanggung jawab.

 

Islam menjadi agama terbesar kedua di Prancis, yang menjadi negara dengan populasi Muslim terbanyak di Eropa Barat. Namun lima juta Muslim di negara itu telah menempuh jalur berliku hingga sampai di Prancis.

 

Diskriminasi membayangi kehidupan Muslim Prancis dan menjadi tantangan untuk masuk ke hidupan arus utama. Prancis mengedepankan sekularisme yang melindungi kebebasan beragama.

 

Namun dalam beberapa tahun terakhir sekularisme menjadi alasan pemerintah untuk menekan Muslim. Undang-undang yang diusulkan Macron menjadi langkah lebih jauh undang-undang 1905 yang dihasilkan dari bentrokan negara dengan Gereja Katolik Roma.

 

Tokoh-tokoh Muslim Prancis mengecam serangan terhadap Paty dan di gereja Katolik Nice. Imam masjid Ar-Rahma di Nice, Otman Aissaoui mengatakan serangan di Nice 'menyentuh saudara dan saudari kami yang beribadah pada Tuhan mereka, saya sepenuhnya Kristen hari ini'.

 

"(Namun) sekali lagi kami distigmatisasi dan orang bergerak begitu cepat untuk menyatukan semuanya," kata Aissaoui.

 

Pernyataan Aissaoui  mencerminkan ketidaknyamanan Muslim Prancis yang sebagian besar berasal dari negara jajahan Prancis di Afrika utara. "Muslim tidak bersalah atau bertanggung jawab, kami tidak boleh menjustifikasi diri kami sendiri," kata pejabat  Dewan Peribadatan Muslim Prancis (CFCM) Abdallah Zekri.

 

Rencana 'pemisahan' Macron yang akan mengatur organisasi Muslim di Prancis, mulai dari pelatihan imam hingga pengelolaan asosiasi muslim telah menimbulkan perpecahan. Rencana itu fokus pada sekularisme Prancis yang dikenal laicite.

 

"Kehadiran Islam bukan sesuatu yang diramalkan masyarakat Prancis," kata Imam dari Bordeaux, Tareq Oubrou.

 

Ketegangan sudah meninggi sejak beberapa tahun terakhir. Usai perubahan undang-undang sekularisme pada 2004 yang melarang pemakaian kerudung di ruang kelas dan larangan cadar pada tahun 2011.

 "Sekularisme selalu menjadi tabir asap, cara tersembunyi untuk memperlakukan masalah Islam," kata Benaissa.

 

Kandidat doktoral Toulouse Capitole University, Rim-Sarah Aloune meneliti kebebasan sipil dan beragama di Prancis. "Sejak tahun 1990-an, 'laicite' selalu dijadikan senjata dan disalahgunakan sebagai alat politik untuk membatasi keberadaan tanda-tanda keagamaan, terutama muslim," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement