Senin 02 Nov 2020 17:54 WIB

Ketegangan Antara Turki dan Prancis, di Mana Liga Arab?

Ketika Turki dan Prancis memanas, posisi Liga Arab dipertanyakan

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Erdogan dan Macron berselisih soal konflik Libya, Mediterania Timur, hingga Karabakh. Ilustrasi.
Foto: EPA
Erdogan dan Macron berselisih soal konflik Libya, Mediterania Timur, hingga Karabakh. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS— Presiden Prancis Emmanuel Macron disebut mencoba menyembunyikan masalah ekonomi negaranya dengan pengalihan isu menjadi konflik dan ketegangan antaragama. Bukan hanya di Prancis, melainkan Macron juga berusaha membangkitkan sentimen anti-Islam di seluruh Eropa.

"Kami sebelumnya telah berkomentar bahwa meskipun Macron berusaha untuk memulai percobaan ini dan memprovokasi dunia Barat, dia belum menerima dukungan apapun selain dari beberapa kelompok sayap kanan," tulis Yasin Aktay dalam artikelnya di Yenisafak, Senin (2/11).  

Baca Juga

Menurut Aktay, sikap Macron yang membela penerbitan kartun Nabi Muhammad merupakan bentuk sentimen anti-Muslim yang sangat jelas, bahkan pernyataannya yang memasukan karikatur tersebut sebagai bentuk kebebasan berekspresi sangatlah janggal.

Jika dibandingkan dengan sikap Macron belum lama ini yang secara terbuka mencaci-maki seorang jurnalis Prancis selama kunjungannya ke Lebanon setelah ledakan di Beirut. 

Dia telah menunjukkan batasan yang jelas pada kebebasan berekspresi, tulis Aktay. "Agresi seperti itu niscaya akan mengarah pada tingkat kepekaan dan persatuan yang lebih besar di antara umat Islam," ujar Aktay.

"Serangan memunculkan dan memperkuat rasa persatuan. Ini adalah aturan paling dasar dari sosiologi kelompok. Rasa persatuan yang muncul dengan serangan juga akan menghasilkan keberanian, yang menjadi sulit dikendalikan pihak lain," sambungnya.

Suara terkuat dari dunia Muslim terhadap serangan Macron dilontarkan  Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan. Aksi boikot produk Prancis juga berkembang di Pakistan, Kuwait, dan Qatar. “Namun banyaknya negara-negara Muslim yang memilih diam, menunjukkan bahwa mereka sedang 'dijajah', ujar Aktay.

Pernyataan Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit yang justru mengungkapkan 'kegembiraannya' atas konflik Prancis-Turki, dan menyebut bahwa Turki sedang mempersiapkan tujuannya sendiri dengan mencampuri urusan Prancis. 

Dia bahkan tidak menyebutkan wacana anti-Islam Macron, namun terus menyalahkan Turki karena campur tangan dalam urusan internal orang Arab di Suriah, Irak, dan Libya.

Sedikit menggali catatan masa lalu Gheit mengingat hubungan dirinya dengan Tzipi Livni, Menteri Luar Negeri Israel saat itu. Saat keduanya bertemu, tepat sebelum serangan udara Israel di Gaza pada 25 Desember 2008, sambil memegang tangan Aboul Gheit, yang saat itu merupakan Menteri Luar Negeri Mesir, Livni telah mengumumkan secara tersirat bahwa mereka dalam satu kubu untuk berperang melawan Gaza.

"Tidakkah jelas mengapa Sekretaris Liga Arab, yang menyerahkan nyawa Palestina, Muslim, harta benda dan kehormatan untuk dibuang Zionis dan Prancis, mengecam Turki karena campur tangan dalam urusan Arab?" tulis Aktay.  

"Ini terjadi karena, sayangnya, baik Muslim maupun Arab tidak memiliki perwakilan lain hari ini. Mereka yang mengaku mewakili justru tidak melakukan apa-apa selain berkhianat. Turki memang menunjukkan pembelaan, namun intervensi Turki untuk semua Muslim dan Arab sangatlah jelas," ujar dia.

Sumber: https://www.yenisafak.com/en/columns/yasinaktay/of-what-concern-are-arabs-and-islam-to-the-arab-league-2047645

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement