Senin 02 Nov 2020 02:50 WIB

Israel Sambut Dominika yang Ingin Kedutaan di Yerusalem

Kedutaan besar Republik Dominika pernah berada di Yerusalem hingga 1980

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Christiyaningsih
Presiden Republik Dominika Luis Abinader mengenakan masker di tengah pandemi. Ilustrasi.
Foto: AP/Orlando Barria/EFE Pool
Presiden Republik Dominika Luis Abinader mengenakan masker di tengah pandemi. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pemerintah Israel menyambut baik pernyataan Republik Dominika yang mempertimbangkan untuk memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Meskipun sebelumnya, kedutaan besar Republik Dominika pernah berada di Yerusalem hingga 1980.

"Saya berterima kasih padanya selama panggilan telepon kami kemarin untuk keputusan penting ini dan untuk persahabatan antara kedua negara kami selama bertahun-tahun," cuit Menteri Luar Negeri Israel Gabi Ashkenazi lewat akun Twitternya dilansir dari Reuters.

Baca Juga

Pernyataan pemindahan kedutaan ini datang dua bulan setelah Presiden Luis Abinader, yang merupakan cucu imigran Lebanon, memimpin Republik Dominika. Sejak saat itu, Abinader menilai negaranya memiliki hubungan istimewa dengan Amerika Serikat.

Pemindahan ini tak lepas dari keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada akhir 2017. AS kemudian memindahkan kedutaannya ke sana pada tahun berikutnya.

Langkah ini diikuti oleh negara-negara Amerika Latin lainnya. Beberapa di antaranya Guatemala dan Honduras. Sedangkan Brasil sedang mempertimbangkan langkah tersebut.

Trump meluncurkan apa yang disebut sebagai 'kesepakatan abad ini' untuk menangani konflik Israel-Palestina. Para penentang menganggapnya sebagai pengalihan atas pencaplokan permukiman Israel yang dianggap ilegal di Tepi Barat yang diduduki, serta petak Lembah Yordania yang strategis.

Rencana itu juga menyebut Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan menolak hak warga Palestina kembali ke rumah leluhur mereka di tempat yang sekarang disebut Israel. Aneksasi wilayah pendudukan adalah ilegal di bawah hukum internasional dan Palestina sangat menolak kesepakatan itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement