Kamis 29 Oct 2020 12:41 WIB

Investasi Pelayaran di Batam Belum Mampu Saingi Singapura

UU Ciptaker diharapkan bisa mempercepat perizinan investasi pelayaran.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Sejumlah wisatawan asal Singapura berjalan memasuki Pelabuhan Internasional Sekupang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (27/1/2020).
Foto: Antara/M N Kanwa
Sejumlah wisatawan asal Singapura berjalan memasuki Pelabuhan Internasional Sekupang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (27/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- UU Cipta Kerja khusus bidang pelayaran dinilai akan mempercepat kemajuan sektor kemaritiman di Indonesia. Hal ini akan berdampak pada kemudahan investasi, penyederhanaan perizinan bagi pengusaha pelayaran dan UMKM berbasis maritim dan perikanan.

Mantan Kepala Staf Angkatan Laut dan Guru Besar Universitas Pertahanan Indonesia Laksamana TNI (Purn) Marsetio mengatakan pemerintahan periode pertama Presiden Joko Widodo memiliki gagasan untuk menjadikan negara maritim yang kuat dan besar. Adapun visi maritim dengan memperkuat budaya maritim, sumber daya maritim, konektivitas laut, diplomasi maritim, dan pertahanan maritim meskipun pemanfaatan laut selama periode pertama belum optimal akibat tumpang tindihnya peraturan.

Baca Juga

“Interkoneksi melalui program Tol Laut misalnya dibutuhkan untuk pemerataan distribusi dan jembatan penghubung, ini akan lebih mudah terjalin dengan perizinan yang lebih mudah dan menumbuhkan supply dan demand yang lebih merata,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (29/10).

Menurutnya jika birokrasi telah disederhanakan maka sumber daya manusia pelayaran bisa ditingkatkan dan penataan sektor pelayaran serta pertumbuhan investasi.“Pada era kedua (Pak Jokowi) untuk memudahkan berinvestasi dikeluarkan UU Cipta Kerja dengan sebuah perencanaan yang matang dan dirumuskan secara hati-hati,” ucapnya.

Marsetio menyebut pengaturan investasi yang dipermudah akan efektif dalam membangun sektor pelayaran, apalagi Indonesia sedang berupaya menjadi poros maritim dunia. Oleh karena itu, dirinya menyayangkan adanya persepsi yang tidak benar terhadap UU Cipta Kerja Bidang Pelayaran yang menyebut status nelayan menjadi kabur dan akan dirugikan.

“Dulu kapal-kapal yang paling gede 100 GT sampai 150 GT itu nelayan luar yang ambil, dengan kebijakan baru ini berpihak ke rakyat kecil. Jadi nelayan kita ukuran 20 GT, 100 GT, bahkan kalau perlu 150 GT sepanjang bisa meningkatkan daya saing kepala nelayan kita, jadi itu yang memberikan kemudahan,” ucapnya.

Bahkan secara spesifik pasal 25 hingga 27 dalam UU Cipta Kerja justru memberikan ruang bagi UMKM dan nelayan untuk bisa berkembang dengan pemanfaatan sumber daya kelautan. Menurutnya adanya payung hukum UU Cipta Kerja akan memberikan percepatan akselerasi pembangunan sektor maritim.

“Aturan turunan saat ini dibutuhkan untuk mendukung tumbuhnya investasi, misalnya RPP tentang Tindak Lanjut UU Cipta Kerja Bidang Pelayaran di Kementerian Perhubungan yang penyusunannya juga akan melibatkan pelaku usaha. Dengan harmonisasi regulasi yang selama ini dikeluhkan pengusaha, nantinya aturan teknis ini akan lebih memberikan kepastian hukum,” ucapnya.

Menurutnya ada beberapa aturan turunan yang diatur secara lebih detail level kementerian yang tujuannya untuk meningkatkan percepatan berinvestasi. Pelibatan asosiasi, pelaku usaha pelayaran, nelayan, koperasi, UMKM tentunya dilibatkan dalam pembahasan di masing-masing kementerian untuk aturan teknis.

“Ini ada banyak asosiasi, pelaku usaha pelayaran, nelayan, asosiasi ikan tuna, udang dan lainnya. Saya kira tentunya mereka akan dilibatkan dalam merumuskan aturan turunan, pemerintahan Pak Jokowi melalui para Menterinya memberikan solusi, karena jiwa UU Cipta Kerja ini memberikan kemudahan bagi rakyat kecil,” ucapnya.

Menurutnya aturan turunan yang digodok nantinya harus efektif mendukung perkembangan sektor pelayaran. Dia mencontohkan apa yang terjadi selama puluhan tahun di Batam, Kepulauan Riau yang pada awalnya digadang mampu menyaingi Singapura, kenyataannya masih jalan ditempat.

“Persoalan perizinan yang berbelit dan tumpang tindih menjadi persoalan menahun,” ucapnya.

Adanya payung hukum baru ini, lanjut Marsetio, akselerasi percepatan investasi di Batam bisa meningkat, dengan perizinan berbasis IT yang nantinya bisa dikembangkan Smart Green Port berstandar internasional, sehingga perizinan yang berkaitan dengan kegiatan ekspor dan impor membutuhkan waktu paling cepat tujuh hari dengan kemudahan teknologi ini hanya membutuhkan waktu satu jam saja.

“Misalnya izin dari Singapura ingin masuk ke Batam untuk kegiatan FSU dan alih muat  kegiatan ekspor-impor itu yang tadinya paling cepat 7 hari karena harus dapat izin dari Jakarta, karena sudah online cuma 1 jam. Jadi dulu izinnya ke pusat tetapi sekarang tidak perlu langsung diurus di KSOP Tanjung Balai Karimun,” ucapnya.

Apalagi saat ini, menurutnya, peran Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang mengkoordinasikan delapan Kementerian seharusnya koordinasi akan lebih mudah dan tata laksana di lapangan lebih baik. Dari hanya membawahi Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata, Kementerian ESDM dan Kementerian PUPR, saat ini ditambah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Semua investasi yang sebelumnya macet karena terkendala persoalan peraturan tingkat masing-masing kementerian dengan adanya UU Cipta Kerja dan di bawah koordinasi kementerian yang sama akan lebih memudahkan, termasuk sektor pelayaran yang akselerasi pembangunannya akan lebih cepat dan lebih dapat dirasakan.

“Ini sudah ada payung untuk menciptakan investasi, dengan UU Cipta Kerja ini kan lebih dari 70 Undang-undang disederhanakan. Negara akan maju, maritim maju, tetapi sebuah negara maritim tidak akan berhasil secara utuh kalau tidak mendorong nelayannya untuk berkembang,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement