Kamis 29 Oct 2020 06:47 WIB

Batan yang Ikut Berkontribusi Pembuatan Vaksin Merah Putih

Selain sterilisasi, Batan ikut menentukan dosis untuk melemahkan virus corona.

Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) dilibatkan dalam pembuatan vaksin merah putih untuk melawan Covid-19.
Foto: Antara/FB Anggoro
Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) dilibatkan dalam pembuatan vaksin merah putih untuk melawan Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Indonesia tidak hanya mengandalkan vaksin dari luar negeri untuk menghadapi pandemi Covid-19. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang berada di bawah Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) juga ikut mengembangkan vaksin merah putih yang digunakan untuk melawan virus corona.

Baca Juga

Dalam pembuatan vaksin, Lembaga Eijkman ternyata juga melibatkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Peneliti Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR) Batan, Mukh Syaifudin, menuturkan, dalam pembuatan vaksin merah putih, Lembaga Eijkman meminta Batan berpartisipasi dalam hal sterilisasi atau inaktivasi (atenuasi) virus corona dengan sinar gamma.

Dia menyebutkan, teknologi nuklir dapat dimanfaatkan untuk membuat vaksin dengan memanfaatkan radiasi sinar gamma. “Fasilitas radiasi gamma dapat dimanfaatkan untuk membuat vaksin,” kata Syaifudin kepada Republika, Selasa (27/10).

Dia menjabarkan, vaksin merupakan zat yang mengandung bakteri atau virus yang sudah mati atau dilemahkan, yang bisa digunakan pemicu untuk meningkatkan ketahanan tubuh seseorang terhadap penyakit tertentu. Karena itu, pemberian vaksin dianggap merupakan cara efektif menghindari sebuah penyakit.

Syaifuddin mengatakan, ketika vaksin dimasukkan ke dalam tubuh, sistem keamanan tubuh yang bernama sel limfosit, merespon dengan memproduksi antibodi. Dan, antibodi inilah yang akhirnya melawan virus dan memproteksi tubuh agar tidak mengalami infeksi.

Ketika mendapat kepercayaan Lembaga Eijkmen, pihaknya tentu saja bertanggung jawab menyiapkan semua tahapan dengan baik supaya uji coba proses pembuatan vaksin dilakukan secara tepat dan benar. "Bukan hanya sterilisasi, dan kita itu diminta juga menentukan dosis yang optimal untuk melemahkan kapasitas virus untuk pembuatan vaksin," kata Syaifudin.

Dia menjelaskan, Batan sangat hati-hati dalam keterlibatan pembuatan vaksin karena proses ini baru pertama kali. Untuk itu, menurut Syaifudin, botol atau wadah untuk virus harus benar-benar aman dan tertutup rapat dengan cara dilakban maupun double layer demi mengantisipasi kebocoran.

Pasalnya, iradiasi merupakan cara sterilisasi atau inaktivasi virus yang sangat praktis dan mudah. "Karena tidak perlu proses pembongkaran dan sebagainya, sebelum diiradiasi, di mana daya tembus sinar gamma sangat besar," kata Syaifuddin.

Dia mengatakan, tahap awal pembuatan vaksin, perlu diuji dahulu di Lembaga Eijkman bagaimana kondisi virus jika diletakkan pada suhu ruang atau kamar minimal selama 4,5 jam waktu untuk sterilisasi. Hal itu lantaran untuk proses iradiasi, misalnya 10 kilogray (kGy), yakni satuan dosis iradaisi yang setara dengan 10 kilo joule per kilogram, memerlukan waktu sekitar 2,5 jam di suhu kamar.

Kondisi itu masih ditambah dengan perjalanan transportasi selama dua jam Salemba-Pasar Jumat-Salemba atau dari kantor Lembaga Eijkman ke kantor Batan dan kembali ke tempat semula.  "Dosis lebih tinggi memerlukan waktu iradiasi lebih lama. Hal ini dikhawatirkan karena virus mati bukan akibat iradiasi, tetapi karena suhu ruang atau di luar diinkubator," ucap Syaifuddin menjelaskan.

Untuk itu, Syaifuddin menambahkan, perlu ditentukan juga bioburden atau colony forming unit (CFU), serta kandungan virus yang akan diiradiasi untuk diperhitungkan dosis sinar gammanya yang sesuai. Tentu saja dosis iradiasi sangat bergantung pada jumlah virusnya. "Kalau iradiator yang digunakan adalah gamma cell 220 maka diperhitungkan karena volumenya pun terbatas sekitar dua liter," katanya.

Syaifuddin menyatakan, kalau semua langkah tersebut berhasil maka selanjutnya untuk penentuan dosis iradiasi yang optimal, calon vaksin dapat diuji terlebih dahulu dengan mengiradiasi virus dalam volume kecil. Untuk tahap awal, misalnya menggunakan 5-10 mililiter (ml) dalam botol yang sesuai, kemudian dilakukan proses diiradiasi di Batan.

"Jika hal-hal tersebut dipenuhi maka Batan akan melakukan uji iradiasi untuk memperoleh atau menentukan dosis yang optimal dengan cara mensterilisasi pada variasi dosis misalnya 0, 5, 10, 15, 25 kGy (laju dosis 4,8 kGy pern jam). Dosis optimal adalah dosis yang mampu melemahkan virus tanpa merusak epitope atau bagian imunogenik dari virus. Pascairadiasi perlu dilakukan uji-uji tersebut," jelas Syaifuddin.

Dia mengingatkan, transportasi dan saat iradiasi sampel vaksin juga harus diuji apakah perlu dilakukan pada suhu dua derajat Celcius (2oC) atau dengan menggunakan dry ice condition. Satu penelitian di jurnal terbaru menunjukkan, virus Covid-19 dapat disterilkan atau dinonaktifkan pada dosis sinar gamma 10 kGy dalam kondisi suhu ruang.

"Dosimetry measurement atau penghitungan dosimetri per ukuran dosis dengan yellow amber dosimeter juga perlu dilakukan untuk menentukan the real absorbed dose yang ditempelkan pada wadah iradiasi. Hal ini karena dosis yang diberikan pada virus dapat saja berbeda dengan dosis yang terekam pada dosimeter," kata Syaifuddin.

Tidak lupa, Syaifuddin berpesan, untuk menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja, teknisi, dan peneliti yang akan terlibat dalam proses inaktivasi bahan vaksin, perlu mempersiapkan alat pelindung diri (APD) lengkap dan memadahi ketika digunakan saat kultur virus di Lembaga Eijkman.

"Juga sejumlah disinfektan serta bahan lain untuk membersihkn peralatan atau fasilitas iradiasi diperlukan supaya mereka tidak tertular virus saat bekerja," ujar Syaifuddin.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio, menuturkan, proses pembuatan vaksin untuk sementara belum melibatkan Batan, karena masih diuji secara internal. Adapun untuk pembuatan vaksin merah putih progresnya sudah mencapai 55 persen. Alhasil, ditargetkan produksi vaksin bisa dimulai pada 2021.

"Kira-kira tahun depan awal, kita menyerahkan bibit vaksin ke Biofarma. Tapi masih belum bisa diproduksi massal," kata Amin kepada Republika.

Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bambang PS Brodjonegoro, menjelaskan, proses pembuatan vaksin saat ini dilakukan enam institusi. Menurut Bambang, mereka yang mengembangkan vaksin sangat luar biasa karena menunjukkan bagaimana kepedulian para peneliti dan dosen untuk mencari solusi dari pandemi Covid-19.

"Keenam institusi tersebut adalah Lembaga Eijkman, LIPI, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Intitus Teknologi Bandung, dan Universitas Airlangga. Menariknya enam dari institusi menggunakan platform berbeda-beda, dari yang berjalan saat ini, kami bisa identifikasi paling cepat yang dilakukan Eijkmen pengembangan vaksin menggunakan platform subunit protein recombinan," kata Bambang dalam webinar yang disiarkan akun BNPB.

Dia menjelaskan, proses pembuatan vaksin per Oktober 2020, sedang memasuki persiapan diujikan ke hewan. Langkah itu diharapkan selesai dengan hasil memuaskan pada akhir tahun ini. "Setelah akhir tahun, bibit vaksin yang sudah teruji di sel mamalisa, diserahkan ke Biofarma yang melakukan produksi skala klinis untuk skala kecil. Nanti BPOM memutuskan vaksin bisa dgunakan secara massal atau tidak," kata Bambang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement