Selasa 27 Oct 2020 12:44 WIB

Konsekuensi Perubahan Dua Pasal UU Omnibus Cipta Kerja

Perubahan Dua Pasal UU Omnibus Cipta Kerja Ada Konsuekensinya?

Sejumlah demonstran yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Mahasiswa Banten berunjuk rasa menolak pengesahan Undang-undang Cipta Kerja di Bundaran Ciceri, Serang, Banten, Kamis (22/10/2020). Mereka mendesak pemerintah mencabut UU tersebut karena dinilai merugikan rakyat.
Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman
Sejumlah demonstran yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Mahasiswa Banten berunjuk rasa menolak pengesahan Undang-undang Cipta Kerja di Bundaran Ciceri, Serang, Banten, Kamis (22/10/2020). Mereka mendesak pemerintah mencabut UU tersebut karena dinilai merugikan rakyat.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh, Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum, Pakar Hukum Tata Negara.

Tipis saja halaman RUU Omnibus Cipta Kerja saat disetujui bersama DPR-Presiden menjadi UU. Namun, ratusan lembar kertas itu segera berubah, bertambah menjadi lebih banyak setelah hal-hal teknis pengetikan dibereskan oleh Baleg DPR. Hebatnya, begitu diserahkan ke Presiden untuk ditandatangani dan diundangkan, lembaran-lembaran kertas itu malah berkurang lagi. 

Beralasankah kenyataan itu dianalisis? Hasilnya sama dengan menyuruh 'kera' menjaring angin sepoi-sepoi pada senja hari. Tidak ada gunanya. Buang-buang waktu. Tak bakal menghasilkan apa pun, selain kekonyolan. Yang menarik dianalisis adalah keluar masuk pasal tertentu dalam UU itu.  

Pasal yang Berubah

Istana Kepresidenan buka suara terkait dihapusnya satu pasal dalam naskah 'final' yang diserahkan DPR kepada Kementerian Sekretriat Negara. Seperti diketahui, naskah UU Cipta Kerja yang diserahkan DPR terdiri dari 812 halaman. Namun, usai formatting dan pengecekan teknis, jumlah halaman berubah menjadi 1.187. 

Sekali lagi menarik, satu pasal dalam UU yang telah dietujui bersama itu hilang. Pasal 46 dalam paragraf 5 tentang Energi dan Sumber daya Mineral (yang masih termuat dalam naskah 812 halaman), hilang. Pasal ini memiliki substansi yang sama dengan Pasal 46 UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 

Pasal hilang, tetapi tidak menimbulkan akibat hukum? Pratikno, Menteri Sekertaris Negara memiliki pendapat yang layak diketengahkan. Pratikno menegaskan substansi naskah UU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan pemerintah sebanyak 1.187 halaman sama dengan naskah UU Cipta Kerja yang disampaikan DPR, sebanyak 812 halaman.

“Substansi RUU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensesneg (1.187 halaman), menurut Pratikno, sama dengan naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR kepada Presiden,” ucapnya. Soalnya siapa yang menghilangkan pasal itu, dan atas dasar apa?  

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas membenarkan, Kemensesneg mengajukan perbaikan dalam naskah UU Cipta Kerja. Salah satunya adalah Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang seharusnya dihapus dari undang-undang sapu jagat itu.

“Itu benar, kebetulan Setneg yang temukan. Jadi itu seharusnya memang dihapus, karena itu terkait dengan tugas BPH (Badan Pengatur Hilir) Migas,” ujar Supratman saat dihubungi, Kamis (22/10). Lebih jauh Supratman menjelaskan, awalnya adalah keinginan pemerintah untuk mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Pasal 46 yang sebelumnya berisi empat ayat kemudian ditambahkan satu ayat lagi untuk mengakomodasi keinginan pemerintah. Namun, keinginan tersebut tak disetujui oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja sehingga diputuskan kembali ke UU existing (Republika, Jumat 23 Oct 2020 14:51 WIB).

Hanya satu pasal itukah yang berubah? Anggota Komisi V Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Suryadi Jaya Purnama, dalam siaran pers PKS, Sabtu (23/10), menunjukkan pasal yang ikut berubah. Menurutnya, terjadi perubahan juga pada pasal 50. Pasal 50 angka 7 dimana pada Pasal 42 ayat 3 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang berbunyi "... keterbangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf d diatur dalam Peraturan Pemerintah". 

Apakah benar demikian? Setelah menelusuri, CNNIndonesia.com, menemukan adanya perubahan bunyi soal syarat perjanjian pendahuluan jual beli perumahan di Pasal 42 ayat (3) Ciptaker. Pada draf Omnibus Law Ciptaker yang disahkan di Rapat Paripurna DPR, syarat perjanjian jual beli yang diatur dalam PP ialah "ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum" (huruf d). Ayat itu kemudian menjadi "... keterbangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf e diatur dalam Peraturan Pemerintah".  Menurut Suryadi sesuai dengan penjelasan Pasal 50 UU Cipta Kerja angka 7 pasal 42 ayat 2 huruf e, yang masuk ke dalam pengaturan PP tidak hanya ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas perumahan, namun juga jumlah terbangunnya rumah dari total unit yang tersedia," ucap dia.

Sementara, pada naskah Omnibus Law Ciptaker yang sudah diserahkan kepada Istana dengan 1187 halaman, syarat perjanjian jual beli yang diatur dalam PP ialah "keterbangunan peruman paling sedikit 20%" (huruf e) (CNNIndonesia, 24/10/2020). Temuan ini, harus diakui sangat eksplosif. 

Tidak Sah

Lelucon konstitusi termurah akan tersaji bila menaruh fokus analisis pada jumlah kertas, jumlah halaman, tebal dan tipisnya naskah UU Omnibus Cipta Kerja. Menaruh fokus pada soal itu sama dengan berenang metode Walter Lippman dan Edward Bernay. Lippman, otak  konsep konsep dan praktik opini publik itu, dengan cara yang sangat kawakan membentengi pemerintahan Woodrow Wilson. 

Mengidentifikasi masyarakat tak lebih khalayak yang cari, kebingungan. Mereka, begitu yang diyakini Lippman harus dipandu dengan isu demi isu. Lippman meyakini cara itu akan membawa masyarakat berperilaku mengikuti kemana arah isu membawa mereka. Cara itu berhasil melambungkan Woodrow Wilson, yang terkenal dengan pendekatan progresifnya.  

Cara pandang progresif ini, boleh saja dibanggakan sebagai hal hebat. Tetapi harus diketahui cara pandang itu tidak lebih dari metode mengakali, dalam makna menginjak-injak  konstitusi. Disebut begitu, karena tindakan ini meletakan tujuan sebagai fundasi konstitusionalnya. Tujuan membenarkan cara, bukan cara membenarkan tujuan. Ini khas machiavelis.

Itu sebabnya hanya terdapat dua hal dari rangkaian kenyataan di atas yang relefan untuk diidentifikasi secara tepat dan dianalisis secara obyektif. Kedua hal itu adalah pertama, perubahan pasal 46 dan pasal 50 UU Cipta Kerja. Sejauh ini belum jelas apakah telah ditandatangani oleh Presiden atau belum.  Kedua, apakah Baleg memiliki kapasitas konstitusi sebagai DPR?

Hal hukum konstitusi yang harus disodorkan untuk masalah pertama harus iawal dengan menyodorkan pertanyaan apakah kedua pasal itu telah ada saat RUU ini disetujui bersama DPR-Presiden? Secara konstitusi satu tindakan hukum DPR disebut tindakan DPR apabila tindakan itu  tindakan dilakukan dalam rapat seluruh anggota DPR. Dikenal dengan rapat paripurna DPR.

Apakah tindakan DPR itu pada saat itu sah? Belum tentu. Keabsahan tindakan itu ditentukan oleh dua hal. Kedua hal itu adalah minimum quorum rapat, dan minimum quorum pengambilan keputusan. Apabila kedua hal itu terpenuhi, maka hukumnya adalah tindakan DPR itu sah. Di luar itu tidak, apapun argumennya. 

Sembari mengikatkan diri pada konsekuensi-konsekuensi yang telah diuraikan itu, menarik mengenal masalah lain. Sekneg, persis diakui Supratman, Ketua Baleg, memberitahukan perubahan pasal itu, khususnya pasal 46. 

Masalahnya apakah Sekneg, bahkan Presiden, memiliki kewenangan mengubah pasal yang telah disetujui bersama DPR-Presiden dalam rapat paripurna DPR? Andai pemberitahuan Sekneg itu ditujukan kepada Supratman Andi Agats, Ketua Baleg, maka masalah konstitusinya darimana Ketua Baleg, bahkan Baleg itu sendiri memperoleh kewenangan bertindak sebagai DPR, setidaknya atas nama DPR?

Hukum konstitusi tidak memberi kewenangan, tidak hanya kepada Ketua Baleg, bahkan Baleg itu sendiri bertindak sebagai DPR. Bila Baleg melakuan perbaikan teknis (typo dan lainnya), maka soal hukumnya apakah DPR, dalam hal ini rapat paripurna DPR memberi mandat itu kepada Baleg?   

Ilmu hukum umum, juga ilmu hukum konstitusi jelas menyatakan dimana hukum  berada pada UU. Mudah saja menyatakan bahwa hukum pada UU adanya pada pasal, ayat, dan huruf. Itu ilmu standar. Itu sebabnya ilmu hukum mengajarkan perubahan (menambahkan ayat, mengubah satu atau beberapa kata dalam ayat atau huruf) menimbulkan konsekuensi hukum sangat fundamental.

Mengapa begitu? Sebabnya adalah  norma, yang tidak lain adalah hukum itu adanya pada kata-kata, baik berdiri sendiri maupun yang dirangkai menjadi kalimat dalam ayat atau huruf pada pasal. Kata atau kata-kata yang terangkai menjadi kalimat itulah yang diinterpretasi. Kata atau kata-kata itulah obyek interpretasi.      

Bila temuan CNN Indonesia, yang dikutip di atas digunakan sebagai ilustrasi, maka dengan alasan secanggih apapun, tidak dapat didigunakan membenarkan pernyataan bahwa perubahan itu tidak mengubah hukum. Syarat perjanjian jual beli yang diatur dalam PP ialah "ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum" (huruf d), berubah menjadi syarat perjanjian jual beli diatur dalam PP adalah "keterbangunan perumahan paling sedikit 20%" (huruf e). 

Apa itu sarana, apa itu prasarana dan apa itu utilitas umum? Ilmu apa, khususnya ilmu interpretasi yang dapat diandalkan untuk menyatakan bahwa norma pada huruf d sama dengan norma pada huruf e? Dimana kewajiban pengemban menyediakan sarana, prasarana dan utilitas umum pada norma huruf e? Tidak ada. 

Kewajiban itu adanya pada norma yang terdapat pada huruf d. Apa konsekuensi norma itu? Pengemban wajib menyatakan kehendaknya dalam perjanjian itu menyediakan sarana, prasarana dan utilitas umum. Disisi lain, norma pada huruf e tidak membebani pengemban dengan kewajiban menyediakan sarana, prasarana dan utilitas umum.

Perubahan konsekuensi sefundamental itu harus dilihat, dan diterima sebagai tidak ada perubahan substansi? Mungkin saja boleh, tetapi tidak dengan menggunakan ilmu hukum. Juga tidak dengan menggunakan metode interpretasi dalam ilmu hukum. 

Mungkin ilmu tari poco-poco, dapat dan andal dipakai menerima perubahan sefundanmental itu sebagai tidak ada perubahan substansi. Ilmu tari poco-poco sajalah yang, harus diakui paling mungkin diandalkan menerima perubahan itu sebagai hal yang tidak mengubah apa-apa. 

Maju satu langkah,  mundur satu langkah,  kekiri satu langkah, lalu ke kanan satu langkah, dan akhirnya kembali ke posisi semula. Itu elemen minimum tari poco-poco. Ilmu ini saja yang sekali lagi, tersedia untuk diandalkan menerima perubahan fundamental itu sebagai sesuatu yang tidak berubah.

Konsekuensi yang menusuk jantung ilmu hukum itu, bahkan jantung akal sehat yang dikaruniai Allah Subhanahu Wata’ala, mungkin dapat mengundang tawa burung-burung pipit. Dengan tatapan masgul, burung-burung riang ini mungkin bisa iba melihat panjangnya langkah tak beraturan pembuat UU ini dalam menggemakan investasi.

Berbahagia, mungkin itulah rasa yang sedang berbunga-bunga para, membawa  investor ke alam khayal keuntungan demi keuntugan. Berbahagia, karena cinta yang ditunggu dari pembuat UU ini, tak disangka, melampaui batas impian investor. 

Rasa yang membutakan itu, menutup semua argumen rasional. Rasa bahagia sedahsyat itu, jelas memustahilkan siapapun dapat menggoda mereka untuk tahu konsekuensi perubahan dua huruf itu. Bara bahagia itu menutup nalar rasional untuk meminta mereka tahu bahwa konsekuensi itu meliputi keabsahan UU ini. 

Memberitahukan kepada pemerintah bahwa dua hal yang berubah itu, cukup jelas menandai prosedur pembentukan UU ini, tidak valid, mustahil sudah. Menyatakan proses pembentukan UU tidak selaras dengan bimbingan dan panduan UUD 1945, terasa hampa sudah. Memalukan, tapi bagaimana lagi.  

Demi berkehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat, maka sesulit dan semustahil itu sekalipun, harus dikatakan bahwa ketidakabsahannya UU ini, tidak hanya terbatas pada dua pasal yang diilustrasikan pada artikel ini. Sama sekali tidak. Ketidakabsahannya meliputi seluruh UU ini. 

Haruskah bangsa ini merindukan Perpu pencabutan UU ini? Bertepuk sebelah tangan, dan jadi rindu yang tak sampai untuk siapapun yang menanti Perpu pencabutan UU yang melambungkan investasi, tentu investor ini. Rindukan saja judicial review ke Mahkamah Konstitusi? Itu hak setiap warga negara yang merasa dirugikan UU ini. 

Burung-burung pipit mungkin akan menyerukan, dengan nada canda riang,  agar  mendekat dan memilih uji formil daripada uji materil. Burung-burung ini pasti sudi menyerukan siapa pun untuk ingat pada Carl von Schimid, ahli hukum konstitusi nazi.

Dia teridentifikasi sebagai pembela paling tangguh terhadap tindakan-tindakan Hitler. Schimid mirip dengan Edmund Burke, ahli hukum, filosof  dan politisi penyokong tangguh Louise ke-XVI. Ia bertolak belakang dengan de Lavayette, oposan tangguh terhadap Louise ke-XVI, yang turut mengarsiteki konsep kesamaan derajat rakyat Perancis. 

Andaikan Schimid berkesempatan berenang dalam politik hukum UU Omnibus ini, mungkin akan menggunakan semua akalnya untuk menyerukan orang menjauh dari uji formil. Dia pasti menyodorkan uji materil sebagai pilihan satu-satunya yang tersedia secara konstitusi, yang harus diambil. 

Akal dan mulutnya tak bakal mampu menyatakan bahwa pergi ke Mahkamah Konstitusi dengan uji materil sama dengan memberi konsesi konstitusi terhadap keburukan cara membentuk UU. Apa konsesinya? Sama sekali bukan sekadar menjauhkan UU itu dari dibatalkan secara utuh, setidaknya menyatakan UU itu tidak sah, karena cara pembentukannya tidak sah.  

Konsesinya, di masa depan pembentukan UU apapun itu, tidak perlu lagi dibimbing oleh cara yang sehat menurut UUD 1945. Validitas cara pembentukan UU sepenuhnya tergantung pada defenisi pembentuk UU, DPR dan Presiden. Konsesi itu sangat berbahaya pada semua aspek. 

Bahaya terbesarnya adalah keabsahan konstitusional tindakan penyelenggara negara di masa datang, sepenuhnya ditentukan sendiri oleh penguasa. Praktik itu khas negara fasis. Itu konsekuensi fundamentalnya. 

Di atas semua itu, temuan Republika.co.id dan CNNIndonesia.com yang dikutip dan dianalisis diatas, jelas konsekuensi hukumnya. Hukumnya UU ini tidak sah, karena cara membentuknya tidak sah. Suka atau tidak, itu akibat hukumnya.    

Jakarta, 27 Oktober 2020 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement