Selasa 27 Oct 2020 07:55 WIB

Pengamat: Banjir di Kota Bogor Jenis Banjir Lintasan

Kegagalan reboisasi di Puncak karena tidak ada perawatan setelah penghijauan.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Bilal Ramadhan
Dua buah mobil terendam banjir di Perumahan Griya Cimanggu Indah, Kelurahan Kedung Badak, Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (26/10/2020). Hujan deras dengan intensitas tinggi yang terjadi di wilayah Bogor pada Sabtu (24/10/2020) tersebut menyebabkan 17 rumah di perumahan tersebut terendam banjir luapan sungai Ciliwung dengan ketinggian 50 sentimeter hingga satu meter akibat tanah longsor yang menutupi saluran air drainase.
Foto: ANTARA/ARIF FIRMANSYAH
Dua buah mobil terendam banjir di Perumahan Griya Cimanggu Indah, Kelurahan Kedung Badak, Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (26/10/2020). Hujan deras dengan intensitas tinggi yang terjadi di wilayah Bogor pada Sabtu (24/10/2020) tersebut menyebabkan 17 rumah di perumahan tersebut terendam banjir luapan sungai Ciliwung dengan ketinggian 50 sentimeter hingga satu meter akibat tanah longsor yang menutupi saluran air drainase.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Minimnya resapan air di hulu Sungai Ciliwung, serta masifnya pembangunan menyebabkan banjir di Kota Bogor terjadi sejak diguyur hujan pada Sabtu (24/10). Dua hal tersebut menyebabkan volume air yang mengalir tidak dapat dikurangi.

Pengamat Tata Kelola Kota dari Universitas Pakuan, Budi Arief menerangkan banjir yang terjadi di Kota Bogor merupakan jenis run off atau banjir lintasan. Misalnya banjir yang terjadi di sekitaran kawasan Rusunawa Cibuluh, Bogor Utara.

"Konsep aliran air itu besar karena daya serap tanah di hulu itu kurang. Secara kaidah ilmu demikian. Jadi kalau daerah hulu itu resapannya kurang, maka run off air akan mengalir ke saluran air lebih besar," kata Budi, Senin (26/10).

Selain minimnya daerah resapan, banjir lintasan juga terjadi karena adanya perubahan tata guna lahan. Salah satunya adalah bantaran di daerah lintasan sungai (DAS) kini berubah menjadi perumahan dan jalanan. Padahal, DAS seharusnya menjadi tempat pepohonan ditanam untuk menahan laju air.

"Daerah aliran sungai Cibuluh itu kan harusnya ada daerah garis sepadan sungai (GSS), nah itu kan fakta dilapangan rumah banyak di pinggir kali," jelas Budi.

Dia melanjutkan, dengan adanya rumah-rumah ini di DAS maka rencana revitalisasi atau naturalisasi semakin sulit dilakukan. Sebab, lahan yang sebelumnya hijau atau daerah resapan, sudah berubah menjadi jalan dan rumah.

“Otomatis ada perubahan run off, aliran muka air makin banyak. Itu memang betul ada dibuat sumur resapan lah, biopori lah. Tapi sampe sejauh mana efektivitasnya?” tuturnya.

Sementara itu, seorang budayawan Sunda yang tinggal di daerah hulu Sungai Ciliwung, Yudi Wiguna mengatakan di sekitar Situ Telaga Saat, atau titik 0 Sungai Ciliwung sudah dilakukan penghijauan beberapa kali sebagai daerah resapan. Namun, Yudi menyayangkan, setelah penanaman tidak dilakukan perawatan oleh pemerintah.

“Itu tidak pernah dibahas dan direncanakan. Jadi setelah itu, tidak ada lagi pembahasan bagaimana merawat pohon-pohonan tersebut hingga tumbuh dengan baik,” kata Yudi.

Yudi menuturkan, walaupun ribuan pohon ditanam, kemungkinan hanya beberapa persen yang hidup karena tidak ada perawatan. Sehingga, dia menyimpulkan banyak kegagalan reboisasi di kawasan Puncak terjadi karena tidak ada perawatan setelah penghijauan.

Dia mengatakan, jika ditugaskan ke masyarakat Desa Tugu Utara, kemungkinan masyarakat akan merawat sesuai dengan tugasnya. Meski demikian, saat ini banyak yang turut berperan merawat tanaman-tanaman tersebut walaupun belum maksimal.

“Akhirnya hanya kepedulian kita saja sebagai masyarakat yang harus terus memperhatikannya, walaupun terbatas dari kemampuan,” jelasnya.

Yudi berharap, ke depannya pihak Pemerintah Kabupaten Bogor mempercayakan perawatan tanaman-tanaman tersebut ke lembaga seperti Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Agar tidak hanya melakukan penghijauan di awal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement