Thursday, 9 Syawwal 1445 / 18 April 2024

Thursday, 9 Syawwal 1445 / 18 April 2024

Usul HNW Soal Mahkamah Kehormatan Majelis Segera Diwujudkan

Sabtu 24 Oct 2020 22:16 WIB

Red: Budi Raharjo

Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA

Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA

Foto: istimewa
Lembaga ini juga untuk mengawal dan membela kepentingan Anggota dan warga MPR

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr H M Hidayat Nur Wahid, MA mengatakan, MPR RI akan segera membentuk Mahkamah Kehormatan Majelis (MKM), seperti yang pernah dia usulkan. Selanjutnya, MKM akan menjadi simbol komitmen menghadirkan etika, dan  pentingnya praktek etika, moral serta akhlak dalam berbangsa dan bernegara dalam bingkai 4 pilar MPRRI

“Mahkamah Kehormatan Majelis bisa menjadi simbol, dan menguatkan komitmen berethika dalam  melaksanakan 4 pilar MPR RI, dan bertujuan untuk mendorong serta mengawal lembaga MPR, para pimpinan dan anggota MPR RI itu bisa menjadi contoh dalam memegang prinsip etika, moral, dan akhlak dalam berbangsa dan bernegara,” ujarnya saat hadir dalam  temu tokoh masyarakat yang diselenggarakan Ormas Garuda Keadilan Sumatera Barat secara virtual, Sabtu (24/10).

HNW sapaan akrab Hidayat menyatakan bahwa Empat Pilar MPR RI yang perlu dipahami lebih jauh oleh masyarakat adalah terkait pengenalan, pemahaman dan pengamalan Pancasila, UUD NRI 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. Ia menuturkan, selain penting untuk dipahami, Empat Pilar juga perlu diaktualisasikan dan dikontektualisasikan agar para tokoh masyarakat dan kalangan tokoh-tokoh pemuda dapat menerapkannya dalan tataran praktis.

“Tujuannya agar tokoh masyarakat dan tokoh muda dengan contoh yang diberikan oleh pimpinan dan anggota MPR RI, dapat mengenal untuk makin mencintai, menjaga, mengamalkan serta membela pilar-pilar tersebut di tengah peluang dan tantangan masa kini maupun masa yang akan datang, baik yang datang dari dalam negeri maupun yang bersumber dari luar negeri,” jelasnya.  

Selain itu, kata Hidayat diharapkan setelah sosialisasi ini para tokoh masyarakat dan pemuda juga dapat mendorong hadirnya komitmen menjaga dan menguatkan ber NKRI sesuai dengan realisasi cita-cita proklamasi dan cita-cita reformasi.

“Apalagi untuk warga Minang, NKRI adalah warisan jihad dan ijtihad perjuangan tokoh Partai Islam Masyumi, yang berasal dari Minang, beliau adalah M Natsir. Agar nanti NKRI itu dapat diwariskan dengan sebaik-baiknya kepada generasi milenial dan anak cucu saat nanti memperingati 100 tahun Indonesia Merdeka,” tukasnya.

Menurut HNW hal itu dapat berjalan dengan baik, apabila para pemimpin bangsa dan tokoh masyarakat dapat menerapkan Empat  pilar itu dalam semangat moral, etika, akhlak dalam berbangsa dan bernegara.

“Hadirnya prinsip etika, akhlak, moral berbangsa dan bernegara itulah yang membuat para Bapak/Ibu Bangsa dahulu memposisikan diri sebagai pemimpin masyarakat dan bangsa, dengan berbagai keunggulan yang mereka miliki, sekalipun mereka berlatarbelakang yang sangat beragam. Tapi karena etika yang tinggi, mereka dapat mengatasi berbagai halang rintangan, dan menyepakati Empat  pilar kebangsaan, dengan menghadirkan Republik Indonesia Merdeka dengan Pancasila, UUD 45, Hidupi Bhinneka Tunggal Ika dan menyelematkan NKRI,” jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut HNW, untuk dapat berkontribusi menjaga prinsip etika, akhlak dan moral berbangsa dan negara, MPR yang mensosialisasikan 4 pilar, dan sebagai lembaga yang membuat TAP MPR no VI tentang Ethika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, sangat wajar bila mementingkan pembentukan Mahkamah Kehormatan Majelis bagi para pimpinan dan anggota MPR.

“Selain karena perlunya keteladanan, bangsa Indonesia yang paternalistik, juga agar selalu disegarkan rujukan kepada tingkah laku para Bapak/Ibu Bangsa, pimpinan lembaga-lembaga negara, termasuk para pimpinan dan anggota MPR RI,” ujarnya.

HNW berharap agar pimpinan MPR RI, anggota dan tokoh masyarakat dapat saling menguatkan dalam komitmen dan praktek etika, agar bisa selalu mendukung untuk mengatasi  berbagai penyakit masyarakat dan berbangsa. Seperti, dekadensi moral, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), korupsi (termasuk korupsi perundangan), ketidakadilan hukum, ketimpangan sosial dan ekonomi, pembelahan bangsa, oligarki ekonomi dan poliitik, serta banyak persoalan lainnya.

“Apabila permasalahan itu tidak diatasi segera, maka berpotensi menghambat upaya kolektif untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan/proklamasi dan reformasi,” tambahnya.   

Lebih lanjut, HNW menegaskan perlunya pendekatan etika, akhlak, dan moral, selain pentingnya pendekatan hukum, politik, ekonomi dan sosial. “Makanya, kita memerlukan lembaga-lembaga yang terus menyuarakan, menegakkan dan mempraktek etika, moral, dan akhlak dalam kehidupan berbangsa,” ujarnya.

HNW menuturkan lembaga-lembaga etik tersebut telah dimiliki oleh berbagai lembaga negara, seperit DPR,  DPD, Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Namun, sayangnya, MPR selaku lembaga yang mengelola sosialisasi 4 pilar dan memiliki dasar hukum TAP MPR No. VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang menjadi rujukan lembaga negara lainnya, malah belum memiliki forum khusus yang mengurusi persoalan etika.

“Oleh karena itu, bersamaan dengan adanya kesepakatan antara Ketua MPR, Ketua KY, Ketua DKPP, untuk penyelenggaraan Konferensi Nasional Mahkamah Etik, saya pernah mengusulkan kepada Pimpinan MPR agar MPR terlebih dahulu membentuk lembaga yang terkait dengan penegakan etika di lingkungan MPR. Dan Alhamdulillah, dalam 2 rapat pimpinan MPR maupun rapat gabungan pimpinan MPR dengan pimpinan fraksi-fraksi dan kelompok anggota (DPD), disepakatilah pembentukan Mahkamah Kehormatan Majelis (MKM) itu,” jelasnya.

HNW menilai kesepakatan atau persetujuan ini merupakan satu langkah yang sangat maju, walau masih akan dibahas lebih lanjut apakah lembaga penegak etika di MPR itu nanti berbentuk ad hoc atau bersifat pernamen. “Saya pribadi mengusulkan agar Mahkamah Kehormatan Majelis di MPR itu dibentuk secara permanen, bukan secara adh hoc,” ujarnya lagi.

Alasan perlu dibentuk secara permanen karena bisa sebagai simbol maupun bentuk komitmen permanen MPR dalam melaksanakan TAP MPR No. VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang dibuatnya sendiri. Kalau DPR dan DPD saja mempunyai Lembaga yang permanen, bukan hanya ad hoc, maka sangat wajar bila MPR juga punya lembaga sejenis yang juga permanen,” ujarnya.

Apalagi, jelas HNW, lembaga ini juga untuk mengawal dan membela kepentingan Anggota dan warga MPR tidak hanya secara ad hoc, melainkan sepanjang waktu, karena eksistensi dan kegiatan mereka di MPR juga bersifat berkelanjutan, tidak ad hoc saja, seperti kegiatan sosialisasi 4 pilar MPR yang bersifat permanen dan berkelanjutan, dan potensial memerlukan hadirnya MKM untuk menyemangati, mengawal kehormatan MPR, anggota dan program-programnya.

Apalagi, faktanya  banyak kegiatan dan program-program MPR yang tidak ad hoc, dan secara spesifik sangat khas, tidak dilakukan di DPR dan DPD.

“Sehingga MKM tidak tumpang tindih dengan apa yg diurusi oleh MKD-nya DPR dan BKD-nya DPD. Karena yg diurusi oleh MKD maupun BKD bukanlah yang akan diurusi oleh MKM (Mahkamah Kehormatan Majlis)-nya MPR, karena yg akan diurusi oleh MKM hanyalah yang terkait dengan MPR dan kegiatan di MPR saja,” pungkasnya.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler