Jumat 23 Oct 2020 20:40 WIB

Kejakgung Enggan Tanggapi Permintaan ICW ke Presiden Jokowi

Kejakgung enggan komentari permintaan ICW ke presiden soal pencopotan Jaksa Agung.

Rep: Bambang Noroyono / Red: Bayu Hermawan
Kapuspenkum Kejagung Hari Setiyono (tengah)
Foto: Antara/Reno Esnir
Kapuspenkum Kejagung Hari Setiyono (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) enggan mengomentari desakan dan penilaian Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait kinerja Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono mengatakan, otoritasnya tak punya kapasitas menanggapi setiap desakan untuk meminta pemimpin Korps Adhyaksa tersebut, turun dari jabatannya. 

"Maaf, kami tidak mau menanggapi itu. Kewenangan untuk itu ada pada Bapak Presiden," ucap Hari lewat pesan singkatnya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (23/10). 

Baca Juga

Seperti diberitakan sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar mencopot Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dari jabatannya. Desakan dari lembaga swadaya antikorupsi tersebut, dilayangkan sebagai respons ICW terkait kinerja Kejaksaan Agung (Kejakgung) yang dianggap tak profesional dalam pengungkapan skandal hukum terpidana Djoko Tjandra.

"Hal yang melatarbelakangi permintaan pemberhentian itu (Jaksa Agung Burhanuddin) adalah performa Kejaksaan Agung yang kerap menimbulkan persoalan. Terutama terkait perkara buronan, dan terpidana Djoko S Tjandra," begitu isi surat kepada Presiden Jokowi, dalam rilis ICW yang diterima wartawan di Jakarta, Jumat (23/10). 

Peneliti Hukum ICW Kurnia Ramadhana menerangkan, ada tiga catatan dalam pengungkapan kasus Djoko Tjandra yang menjadi dasar permintaan pemberhentian Burhanuddin. Pertama, kata Kurnia, Kejakgung melakukan pengabaian fungsi pengawasan dari Komisi Kejaksaan (Komjak). 

Kurnia mengatakan, sejak pengungkapan awal kasus Djoko Tjandra, Komjak berkali-kali menyurati Kejakgung agar dapat memeriksa jaksa Pinangki Sirna Malasari yang dituding menerima suap, dan gratifikasi dari Djoko Tjandra senilai 500 ribu dolar AS (Rp 7,5 miliar). Pemberian suap, dan gratifikasi tersebut, terkait dengan upaya jaksa Pinangki, membuat skema penerbita fatwa bebas dari Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra.

Alasan kedua, kata Kurnia, keterlibatan jaksa Pinangki itu, sempat membuat Kejakgung berupaya melindunginya. Kata Kurnia, ICW mencatat dua kali adanya upaya Jaksa Agung Burhanuddin melindungi Pinangki dengan penerbitan Pedoman Jaksa Agung 7/2020 tentang izin pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana. 

Meskipun Pedoman Jaksa Agung tersebut, dicabut atas desakan berbagai elemen masyarakat, tetapi edaran itu menunjukkan adanya upaya perlindungan terhadap jaksa yang terlibat masalah hukum. Kurnia menambahkan, ditambah lagi, adanya wacana dari Kejakgung, yang akan memberikan bantuan hukum terhadap Pinangki atas perannya dalam skandal Djoko Tjandra tersebut. 

Alasan ketiga, kata Kurnia, Presiden Jokowi layak memberhentikan Jaksa Agung Burhanuddin karena mengabaikan kordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam setiap tahapan penyidikan perkara Djoko Tjandra tersebut. ICW mengambil rekomendasi dari Ombudsman RI yang menilai, Kejakgung melakukan praktik penyimpangan adiministrasi, dan prosedur penanganan, serta penyalahgunaan wewenang dalam pengungkapan, penyelidikan, serta penyidikan skandal hukum Djoko Tjandra.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement