Jumat 23 Oct 2020 14:05 WIB

Perkokoh Semangat Berbagi Saat Pandemi

Semangat berbagi harus digaungkan di masa pandemi covid-19.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Perkokoh Semangat Berbagi Saat Pandemi. Foto: Sumbangan (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Perkokoh Semangat Berbagi Saat Pandemi. Foto: Sumbangan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semangat berbagi harus terus digaungkan di tengah pandemi Covid-19. Berbagi merupakan kultur masyarakat Muslim Indonesia yang perlu dijaga sebagai wujud tolong-menolong agar berbagai kalangan yang terdampak akibat pandemi corona bisa melewati ujian Allah SWT ini.

"Pandemi menjadi ujian bagi kita bersama untuk menguji sejauh mana daya tahan kehidupan sosial kita. Kita diuji sejauh mana rasa sosial itu," kata Pemimpin Redaksi Republika Irfan Junaidi saat membuka diskusi terbuka bertajuk 'Semangat Berzakat di Tengah Pandemi' yang digelar Republika secara virtual bersama lembaga filantropi Islam, pada Kamis (22/10).

Baca Juga

Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia, KH Sholahudin al-Aiyubi, dalam diskusi tersebut menjelaskan contoh semangat berbagi pada zaman Nabi Muhammad SAW yang dilakukan kaum Anshor kepada kaum Muhajirin. Saat kelompok Muhajirin hijrah ke Madinah, mereka meninggalkan seluruh hartanya di Makkah sehingga tidak punya persediaan apa-apa di Madinah.

"Ketika itu kelompok Anshar saling berebut untuk memenuhi kebutuhan kelompok Muhajirin karena memang mereka tidak punya persediaan. Tentu mereka butuh tempat tinggal dan sebagainya. Ini contoh untuk mendahulukan orang lain, bahwa tidak untuk kepentingannya sendiri tetapi sahabat yang lain," ujarnya.

 

Kiai Sholahudin memaparkan, ibadah yang memiliki dampak sosial itu nilainya lebih utama daripada ibadah yang bersifat ritual, seperti sholat dan puasa. Karena itu, ibadah yang sifatnya sosial, seperti zakat, infak dan sedekah, harus terus dikampanyekan.

"Almarhum KH Ali Mustafa Yaqub itu mengkritik seorang Muslim yang menunaikan ibadah haji berkali-kali sementara di sekitarnya ada orang yang kurang mampu," tuturnya.

Zakat, infak dan sedekah, terang Sholahudin, merupakan instrumen yang sudah diajarkan dalam Islam untuk membantu saudara-saudara Muslim yang membutuhkan. Masyarakat Islam mesti memberikan sumbangsih melalui instrumen syariat tersebut dan tidak harus bergantung pada bantuan pemerintah dalam menghadapi pandemi.

"Ketika berzakat, harta yang dikeluarkan itu prinsipnya akan bertambah. Ini janji Allah SWT. Kalau Allah memberikan bukti langsung, orang akan berbondong-bondong untuk berzakat," katanya.

Chief Marketing Officer Rumah Zakat Irvan Nugraha menyampaikan, di tengah pandemi, masyarakat Indonesia menjadi lebih berempati. Ini terlihat dengan adanya penghimpunan donasi yang masuk. Untuk melancarkan penghimpunan saat pandemi, Rumah Zakat mengintensifkan edukasi untuk berdonasi secara digital.

"Kita melakukan beberapa inovasi untuk memudahkan masyarakat dalam menunaikan zakat, infak dan sedekah. Kami juga berinovasi dengan berkolaborasi melalui channel youtube untuk memberikan kemudahan. Masyarakat juga kita libatkan untuk menjadi mitra sosialisasi yang kita sebut 'Program Sahabat Kebaikan'," tutur dia.

Semua itu, lanjut Irvan, diupayakan dalam rangka memberi kesadaran kepada masyarakat untuk tetap menunaikan zakat infak dan sedekah. Menurutnya, Rumah Zakat terbantu adanya peran masyarakat dan influencer dalam membuat konten kreatif yang disosialisasikan di media sosial. "Sehingga ada peningkatan (donasi), alhamdulillah," ujarnya.

Chief Marketing Office Global Zakat ACT, Syahrul Mubaraq, mengatakan ACT telah membagikan lebih dari 1,6 juta kg beras yang telah didistribusikan kepada masyarakat yang terdampak pandemi corona. Penghimpunan zakat infak dan sedekah masih terjaga tetapi dia melihat adanya ketakutan terkait kondisi ekonomi di masa mendatang.

Untuk menghadapi kondisi itu, lanjut Syahrul, diperlukan edukasi secara masif bahwa zakat bukan bersifat sukarela melainkan wajib. Sebab dia menyadari, sebagian masyarakat masih menganggap zakat bersifat sukarela. Dia mengingatkan, zakat tidak boleh ditahan dan wajib ditunaikan.

ACT juga mengusulkan pembentukan gugus tugas filantropi yang berperan untuk menyampaikan informasi yang sejuk di tengah pandemi Covid-19. Tujuan lainnya supaya memiliki gerakan dalam satu frekuensi yang sama.

Syarul menilai, tiga pilar penting, yaitu pemerintah, ulama dan masyarakat, tampak belum berada di satu frekuensi yang sama. "Hari ini umat Muslim bisa jadi belum menemukan sosok yang bisa menjadi komando. Kita berharap, ulama kita bersatu dan menyerukan umat untuk peduli pada sesama, peduli pada tetangganya," katanya.

Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI, Sigit Pramono memaparkan, krisis yang diakibatkan pandemi Covid-19 memang berbeda dari krisis yang terjadi 1997 dan 2008. Menurutnya, krisis kali ini juga melibatkan krisis kesehatan yang selama ini tidak pernah dialami di Indonesia. "Maka hemat saya, kita harus merespons dengan cara yang tidak sederhana," tutur dia.

Menurut Sigit, diperlukan sikap ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama Muslim yang dilandasi iitsar (mendahulukan kepentingan orang lain) dalam hal sosial dan tasamuh (toleransi). Dia mengatakan, sikap itsar menemukan momentumnya saat ini, termasuk bagi lembaga filantropi Islam. "Kita bisa mendorong ini menjadi satu keunikan bahwa inilah saatnya praktik terbaik tentang islamic finance terbaik dengan semangat berbagi," ujarnya.

Agenda diskusi terbuka ini juga dihadiri antara lain, Bendahara Dewan Masjid Indonesia Jakarta Selatan Rahadi Mulyanto, Indah Nur Maulina dari Forum Ekonomi Syariah Universitas Gunadarma, Deputi Direktur Yayasan Baitul Maal PLN Salman Alfarisi, Manajer Humas Baznas Yudhiarma MK, Direktur Laznas Panti Yatim Indonesia (PYI) Tomy Irawan, dan Raya Sulistyowati dari Canvazzone & Magasky.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement