Jumat 23 Oct 2020 07:15 WIB

Bos Twitter dan Facebook Dipangil Jadi Saksi Persidangan

CEO Facebook dan Twitter diminta bersaksi atas dugaan sensor artikel New York Post.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Christiyaningsih
Twitter. Ilustrasi
Foto: Reuters
Twitter. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- CEO Facebook Mark Zuckerberg dan CEO Twitter Jack Dorsey diperintahkan untuk bersaksi atas dugaan penyensoran artikel New York Post yang kontroversial.

Artikel tersebut mengungkapkan surel dan foto yang diklaim New York Post disalin dari laptop putra Joe Biden, Hunter Biden. Twitter mengatakan bahwa cerita tersebut telah melanggar kebijakan 'materi yang diretas', tetapi kemudian mengubah pendiriannya. Facebook telah membatasi penyebarannya di umpan berita sementara perusahaan itu memeriksa fakta.

Baca Juga

Langkah tersebut memicu tuduhan sensor dan bias pro-Biden dari anggota parlemen Republik. Sekarang, 12 Republikan di Komite Kehakiman Senat telah memilih untuk memaksa dua kepala eksekutif tersebut untuk bersaksi tentang penanganan masalah tersebut.

Sepuluh demokrat absen dalam sesi sebagai protes atas pemungutan suara sebelumnya atas nominasi Mahkamah Agung Amy Coney Barrett, dilansir BBC Jumat (23/10).

Dorsey dan Zuckerberg akan muncul di depan Komite Perdagangan Senat pekan depan, bersama CEO Google Sundar Pichai, untuk memberikan bukti atas klaim bias anti-konservatif.

Artikel The New York Post berfokus pada surel dari perwakilan perusahaan energi Ukraina, yang dikirim pada April 2015. Isi surel tersebut tampaknya berterima kasih kepada Hunter Biden atas undangan untuk bertemu Joe Biden di Washington DC.

Joe Biden adalah wakil presiden pada saat itu dan putranya berada di dewan direksi perusahaan energi. Tidak ada bukti bahwa pertemuan semacam itu pernah terjadi. Penyelidikan sebelumnya tidak pernah menemukan bukti kesalahan mantan wakil presiden meskipun ada klaim dari lawan politiknya.

Artikel New York Post juga memuat tangkapan layar yang menunjukkan alamat surel pribadi.

Twitter dikritik karena memblokir orang untuk membagikan artikel tersebut. Belakangan dikatakan bahwa itu dilakukan karena artikel tersebut melanggar kebijakan Twitter tentang menerbitkan informasi pribadi dan materi yang diretas.

Dorsey kemudian mengakui tidak mengomunikasikan keputusannya dengan benar.  Twitter kemudian mengubah kebijakan 'materi yang diretas'.

Facebook membatasi penyebaran artikel di umpan beritanya, sementara artikel itu diperiksa fakta oleh organisasi pihak ketiga. Facebook dan Twitter tidak biasa membatasi penyebaran artikel dari outlet berita utama yang sudah mapan dengan cara ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement