Kamis 22 Oct 2020 17:41 WIB

Thailand Cabut Status Keadaan Darurat untuk Akhiri Demo

Massa pengunjuk rasa turut menyuarakan reformasi monarki kerajaan Thailand

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Pengunjuk rasa menuju ke rumah pemerintah selama unjuk rasa anti-pemerintah di Bangkok, Thailand, 14 Oktober 2020. Pengunjuk rasa pro-demokrasi mengambil bagian dalam unjuk rasa melawan elit kerajaan dan pemerintah yang didukung militer menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayut Chan -o-cha, penulisan ulang piagam baru monarki yang direformasi di bawah konstitusi.
Foto: EPA-EFE/DIEGO AZUBEL
Pengunjuk rasa menuju ke rumah pemerintah selama unjuk rasa anti-pemerintah di Bangkok, Thailand, 14 Oktober 2020. Pengunjuk rasa pro-demokrasi mengambil bagian dalam unjuk rasa melawan elit kerajaan dan pemerintah yang didukung militer menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayut Chan -o-cha, penulisan ulang piagam baru monarki yang direformasi di bawah konstitusi.

REPUBLIKA.CO.ID,THAILAND -- Pemerintah Thailand mencabut status "keadaan darurat" pada Kamis (22/10). Status itu diterapkan sejak pekan lalu untuk mengakhiri gelombang protes anti-pemerintah dan monarki.

"Situasi kekerasan saat ini yang mengarah pada pengumuman situasi parah telah mereda dan berakhir pada situasi di mana pejabat pemerintah serta lembaga negara dapat menegakkan hukum reguler," kata Pemerintah Thailand yang diterbitkan dalam Royal Gazette resmi, dikutip laman Aljazirah.

Baca Juga

Dengan berakhirnya status darurat, larangan pertemuan politik lima orang atau lebih tak berlaku. Kontrol terhadap penerbitan berita yang dapat mempengaruhi keamanan juga bakal diakhiri. Pada Rabu (21/10) malam, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mengatakan siap mencabut dekret yang mengatur penerapan keadaan darurat guna mengurangi ketegangan politik.

Saat menyampaikan pidato tersebut, puluhan ribu warga masih melangsungkan demonstrasi. Massa, yang telah mendesak Prayuth untuk segera mundur dalam waktu tiga hari, menyatakan pencabutan status keadaan darurat tidak cukup memenuhi tuntutan mereka.

“Dia (Prayuth) masih berusaha untuk tetap berkuasa sambil mengabaikan semua tuntutan rakyat. Keputusan darurat seharusnya tidak dikeluarkan sejak awal," ujar  Sirawith “Ja New” Seritiwat, salah satu pemimpin massa aksi.

Pada 26 Oktober mendatang, parlemen Thailand akan menggelar sebuah sesi untuk membahas tuntutan para demonstran. Mereka tak hanya menuntut Prayuth mundur, tapi juga reformasi monarki. Seruan semacam itu belum pernah terjadi sebelumnya di Thailand.

Sejak Februari lalu, warga yang didominasi pemuda dan mahasiswa telah menggelar demonstrasi menentang pemerintahan Prayuhth Chan-ocha. Mereka menuding Prayuth telah mencurangi pemilu tahun lalu untuk tetap berkuasa. Mantan jenderal yang menjadi tokoh utama dalam kudeta tahun 2014 telah membantah tuduhan tersebut.

Massa pengunjuk rasa turut menyerang pihak kerajaan Thailand. Mereka menyebut monarki telah memungkinkan adanya dominasi militer selama bertahun-tahun. Gelombang demonstrasi pada akhirnya turut menyuarakan tentang reformasi monarki.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement