Kamis 22 Oct 2020 13:39 WIB

Dai Perlu Perhatikan Basis Data Hingga Peraturan Perundangan

Hal itu penting untuk mengantisipasi kriminalisasi.

Webinar Series 10-Pra Munas V Hidayatullah pada  Rabu (21/10) membahas tentang pentingnya dai memerhatikan basis data dan peraturan perundangan.
Foto: Dok Hidayatullah
Webinar Series 10-Pra Munas V Hidayatullah pada Rabu (21/10) membahas tentang pentingnya dai memerhatikan basis data dan peraturan perundangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Lembaga Bantuan Hukum Hidayatullah (LBHH) Dudung A Abdullah, mengemukakan sejumlah langkah apa yang harus dilakukan dalam mengantisipasi agar tidak terjerat kasus hukum atau kriminalisasi. 

Di antaranya, dia menyebutkan, dai harus membangun komunikasi yang konstruktif dengan semua pihak sehingga ketika kemudian ada permasalahan di tengah masyarakat atau ketika ada perasaan lain di tengan masyarakat terhadap dai atau lembaga, hal itu bisa segera dibicarakan dan dicairkan. 

"Maka seorang dai itu harus komunaktif di tengah masyarakatnya," kata Dudung saat menjadi narasumber dalam Webinar Series 10 – Pra Munas V Hidayatullah seperti dilansir kanal Youtube Hidayatullah ID, Rabu (21/10).

Selain itu, ketika dai berbicara di tengah umat harus dibarengi dengan basis data yang kuat. Sebab, kalau tidak dikuatkan dengan data, maka yang terjadi adalah fitnah. 

"Bisa saja yang disampaikan benar tapi tidak ada basis datanya, maka orang atau lembaga yang tak suka bisa saja melaporkan sebagai perbuatan tidak menyenangkan," katanya. 

Dai juga didorong agar memahami peraturan perundang-undangan seperti UU Pendidikan, dan UU Perlindungan Anak. Seumpama kalau bergiat di lembaga, perhatikan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena, sambungnya, bisa saja ada orang yang menyumbang tapi ternyata melakukan pencucian uang. Ia juga menekankan pentingnya memahani UU Yayasan. 

"Dan yang paling banyak sekarang ini terjerambab dalam kasus kriminalisasi dai adalah UU ITE. Maka tolong dipahami itu semua. Jangan sampai kemudian kita menyebarkan sesuatu yang ada di media sosial, tidak disaring langsung di-share. Tidak dilihat dulu benar atau tidaknya," tuturnya. 

Dai yang berada di lembaga Islam, dipandang Dudung penting untuk membuat aturan tata tertib transparan yang bisa dibaca dan dipahami oleh wali santri. Dan itu harus disepakati. Sehingga,  jika membuat hukuman itu jelas karena sudah ada aturannya. 

Masih dalam upaya menghindari kriminalisasi, dai atau guru di lembaga Islam agar menghindari penerapan hukuman yang bersifat kekerasan fisik.  Karena,  orang yang tidak suka, mungkin saja melaporkan hal tersebut. 

"Mungkin boleh jadi yang melaporkan bukan orangtuanya tapi masyarakat sekitar atau kelompok tertentu yang tidak suka," ujarnya.

Dia juga menyampaikan perlunya dibangun biro khusus yang mengurusi hubungan masyarakat (humas) di lembaga yang menaungi para dai atau guru. Sehingga, terangnya, ketika ada suatu permasalahan, tidak langsung ke orangnya tetapi ke bidang Humas yang menyampaikan apa yang terjadi. 

"Dengan demikian, apa yang disampaikan ke masyarakat itu terpola dengan baik," katanya. 

Dudung menerangkan, yang tak kalah penting adalah ketika dai sedang menghadapi masalah hukum, maka lembaga yang menaungi dai tersebut, entah itu organisasi, entah perkumpulan, ormas atau yayasan, maka harus turun tangan bertanggung jawab menurunkan bantuan hukum. 

"Jangan membiarkan dai sendirian. Dia dihujat sendirian. Keluarganya juga dihujat. Dengan pendampingan hukum dari lembaga, dai tidak merasa sendirian dan merasa dirangkul. Kasihan  dia.  Jangan sampai ia berdakwah sendirian, berhadapan dengan hukum juga sendirian," katanya.

Dudung menjelaskan, krimanalisasi atau pemenjahatan berasal dari bahasa Inggris: criminalization. Lantas, apakah kriminalisasi ini benar terjadi? Mengacu pada pernyataan Komnas HAM Natalius Pigai, kriminalisasi betul ada. 

"Kalau kita lihat sejarah, para pejuang kemerdekaan juga dikriminalisasi. Dai sebagai pembawa nilai kebenaran, pasti menghadapi masalah ini. Bahkan orang yang terganggu dengan kiprah dai, bisa saja dia melakukan kriminalisasi," kata Dudung. 

Menurut Dudung, dai bisa dikriminalisasi tidak saja personalnya tetapi juga asetnya. Misalnya, asetnya dianggap penyerobotan, padahal surat-suratnya lengkap. Ini terjadi karena ada yang tidak suka.

"Ada juga yang mungkin diprovokasi untuk melakukan tindakan kriminalisasi. Atau lembaganya yang dikriminalisasi dengan stigma misalnya cap radikal," ungkapnya seraya menyebutkan sejumlah kasus hukum kriminalisasi dai yang ditanganinya.

Melalui kesempatan webinar tersebut, Dudung menyampaikan, bahwa dai sebagai pewaris para Nabi, tetap konsisten dalam menjalankan tugas menyampaikan kebenaran dan mencerdaskan umat dimanapun berada. 

"Tidak perlu takut. Sepanjang kita sesuai aturan, insya Allah tidak akan terjadi kriminalisasi dan kami dari LBH Hidayatullah siap untuk mengawal para dai dan guru serta masyarakat luas yang sedang berhadapan dengan hukum," tutupnya.

Webinar bertajuk "Antisipasi Kriminalisasi Dai dan Guru Masa Kini"  ini juga menghadirkan narasumber Dosen Hukum Universitas Wisnuwardhana Dani Harianto, Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PP PGRI) Masa Bakti XXI (2013–2018) Dr H Didi Suprijadi MM, dan dipandu oleh lawyer yang juga dai pimpinan Pondok Pesantren Tahfidz Ashabul Kahfi Bekasi, Hidayatullah, SH. 

Untuk diketahui, Musyawarah Nasional V Hidayatullah akan digelar secara virtual pada 29 – 31 Oktober 2020, berpusat di Kota Depok, Jawa Barat, dan 34 titik lainnya di berbagai wilayah se-Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement