Rabu 21 Oct 2020 16:24 WIB

Mungkinkah Judicial Review UU Ciptaker Dibatalkan Oleh MK?

Publik skeptis MK mengabulkan uji materiil UU Ciptaker

Buruh dari berbagai serikat pekerja di Bogor berunjuk rasa menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di Plaza Balai Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (21/10/2020). Dalam aksinya, massa buruh Bogor juga meminta Presiden Joko Widodo mencabut UU Omnibus Law Cipta Kerja dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
Foto: ANTARA/Arif Firmansyah
Buruh dari berbagai serikat pekerja di Bogor berunjuk rasa menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di Plaza Balai Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (21/10/2020). Dalam aksinya, massa buruh Bogor juga meminta Presiden Joko Widodo mencabut UU Omnibus Law Cipta Kerja dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh DR Sobirin Malian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Setelah diberlakukannya UU Cipta Kerja, publik menunggu, mungkinkah judicial review di MK dapat dimenangkan oleh para pihak pemohonnya? 

Tentu ada dua pendapat yang saling berbeda terhadap hal ini. Di satu pihak yang pro omnibus law sangat yakin bahwa judical review akan dimenangkan oleh pemerintah dan DPR. Alasannya sangat sederhana, bahwa UU Cipta Kerja sangat diperlukan saat ini sesuai visi dan misi pemerintah, terutama dalam menarik investor dengan memangkas berbagai birokrasi yang selama ini menjadi “muara” korupsi dan menciptakan lapangan kerja.

Namun bagi yang kontra UU Cipta Kerja, judicial review UU UU Cipta Kerja bak perjudian jika kalah maka tamatlah harapan. Pertanyaannya, mungkikah UU Cipta Kerja dibatalkan MK?

Sebenarnya sejumlah ahli hukum dan pemerhati yang kritis terhadap pemerintah skeptis MK akan membatalkan UU Cipta Kerja. Pertama, komposisi 9 hakim MK dipilih tiga oleh DPR, 3 oleh pemerintah, dan 3 usulan MA. Dari komposisi ini mereka pesimis para hakim akan objektif terhadap substansi pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Yang mungkin terjadi adalah nuansa politis yang kental. Bahwa mereka harus membalas jasa pada mereka yang memilihnya.

Kedua, kalau pun bukan karena alasan komposisi, masih ada alasan “politis” lain, bahwa para hakim MK belum lama ini “dihadiahi” oleh pemerintah perpanjangan masa pensiun menjadi berumur 70. Apakah, “jasa” itu tidak dihitung atau menjadi cek kosong belaka?

Ketiga, publik terlanjur patah arang pada hakim MK yang Pemilu 2019 lalu, memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin, dan menolak seluruh bukti dan argumen hukum kubu Prabowo-Sandi.

Keempat, pada suatu kesempatan Presiden sendiri, di depan para hakim MK pernah menyatakan, initinya meminta dukungan terhadap kehadiran UU Cipta Kerja.

Apa Masih Mungkin Dibatalkan? 

Secara substansi, peluang para pemohon untuk membatalkan UU Omnibus Law masih terbuka karena UU ini mengandung cacat serius mulai dari proses awalnya. Mengacu kepada Pasal 5 Huruf g UU No. 12/2011 jo. UU No.15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tegas mencantumkan asas  keterbukaan. Bahwa pembentukan UU mulai dari program legislasi nasional (prolegnas), penyusunan naskah, pembahasan,pengeshan serta pengundangan harus transparan dan terbuka.

Keterbukaan tentu harus meliputi substansi UU yang hendak dibentuk, naskah rancangan, pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan dan pembahasan, serta pengundangan harus transparan dan terbuka. Terpenting hanya dengan keterbukaan masyarakat dapat memiliki kesempatan luas untuk memberikan masukan dan dipertimbangkan dalam pengambilan putusan.

Asas keterbukaan berkonsekuensi kewajiban bagi pemerintah dan DPR/DPD untuk menyebarluaskan proses pembentukan UU sejak dalam bentuk prolegnas, rancangan UU hingga UU telah diundangkan. Keterbukaan terutama pada naskah akademik yang merupakan konsep belum sempurna untuk mendapat masukan sebagai penyempurnaan.

UU No 15/2019 tentang Perubahan UU No.11/2011 menegaskan, bahwa sebuah RUU harus berdasar pada Naskah Akademik yang didalamnya harus menghadirkan analisis secara detail landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Selama ini, analisis naskah akademik banyak datang dari para ahli hukum (kampus),  ahli bahasa, masyarakat (termasuk mahasiswa) dan  stake holder. Dalam hal ini UU Cipta Kerja masih banyak menuai kritik dan banyak masukan substantif dari masyarakat dan akademisi namun diabaikan.

Model pengesahan UU Cipta Kerja ini bersifat otoritarian (Black,1956), sangat berpotensi melanggar konstitusi dengan empat alasan (Syafa’at,2020). Pertama, melanggar prinsip kedaulatan rakyat karena menafikkan peran pemilik kekuasaan tertinggi dalam membentuk produk hukum yang akan menjadi dasar penyelenggaraan negara dan menentukan nasib warga negara.

Kedua, mengingat kedudukan UU sebagai produk hukum utama yang harus dibentuk secara demokratis (Mahfud MD, 2001). Ketiga, mengingkari eksistensi pembentuk UU itu sendiri (DPR dan Pemerintah), sebagai institusi demokrasi yang harus selalu mendengar, memperhatikan serta mempertimbangkan aspirasi rakyat yang diwakili.

Keempat, membiarkan pembentukan UU semata-mata sebagai arena pertarungan dan dominasi kekuasaan (apalagi disinyalir disetir oleh para oligark), jelas mengorbankan keadilan dan perlindungan hak warga negara, dan berpotensi merusak negara.

Akhirnya, terlepas dari kemungkinan skeptisnya para pemohon di MK membatalkan UU Cipta Kerja ini, model dan gaya pengesahan UU Cipta Kerja tetap perlu dievaluasi. Pentingnya evaluasi ini terutama agar produk undang-undang itu dapat perform dan tidak ditolak masyarakat.

Tom Gisburg dan Aziz Huq (1996) pernah melakukan studi tentang hal ini, dan kesimpulan mereka adalah undang-undang akan diterima dengan baik (akomodatif) apabila  substansi undang-undang itu mampu menghilangkan gap antara harapan (sollen) dan kenyataan (sein). Besar dan intensnya (demontrasi) penolakan terhadap undang-undang ini menggambar, ada kekhawatiran bahwa undang-undang ini tidak perform dengan baik dalam merespon kebutuhan dan kepentingan publik. 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement