Senin 19 Oct 2020 22:50 WIB

Perda Penanggulangan Covid-19 untuk Tekan Angka Penyebaran

Perda penanggulangan Covid-19 jadi payung hukum perkuat pengawasan

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menaiki sepeda saat melakukan inspeksi di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Jumat (2/10). DPRD DKI Jakarta resmi mengesahkan rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai penanggulangan Covid-19 di Jakarta menjadi perda. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, harapannya perda tersebut dapat menjadi landasan yang kuat untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menaiki sepeda saat melakukan inspeksi di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Jumat (2/10). DPRD DKI Jakarta resmi mengesahkan rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai penanggulangan Covid-19 di Jakarta menjadi perda. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, harapannya perda tersebut dapat menjadi landasan yang kuat untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPRD DKI Jakarta resmi mengesahkan rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai penanggulangan Covid-19 di Jakarta menjadi perda. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, harapannya perda tersebut dapat menjadi landasan yang kuat untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona.

"Jadi atas nama Pemprov kami sampaikan terima kasih pada Ketua DPRD DKI, wakil dan anggota yang telah membahas secara mendalam, dan bekerja sama dengan baik. Mudah-mudahan dengan berhasilnya dan sudah disahkannya Perda ini, kita memiliki landasan yang kuat dalam bertindak dalam memutus mata rantai penyebaran covid-19," kata Riza di Gedung DPRD DKI, Senin (19/10).

Adapun perda tersebut terdiri dari 11 Bab dengan 35 pasal yang mengatur tentang batasan hukum, wewenang, hingga sanksi dalam penanganan Covid-19. Nantinya, perda itu akan menjadi payung hukum untuk memperkuat pengawasan mengenai penerapan protokol kesehatan di lapangan, sehingga dapat menekan angka penyebaran Covid-19.

"Jadi semua diatur secara jelas dan detail. Ada yang diatur dalam perda dan tentu juga ada yang diatur dalam Pergub dan Kepgub jadi antara Perda, Pergub dan Kepgub saling menguatkan, saling bersinergi positif. Jadi kita semua mengacu pada perda, dan alhamdulillah Pergub dan Kepgub semuanya sejalan dengan isi perda," jelas Riza.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua Bapemperda DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan menjelaskan, dalam perda tersebut, tidak ada sanksi kurungan penjara bagi para pelanggar protokol kesehatan. Dia menuturkan, aturan yang tertuang dalam perda adalah sanksi pidana berupa denda yang akan diproses melalui persidangan.

"Jadi perda ini menganut dua sanksi, yang pertama adalah sanksi administratif. Sanksi administratif ini tidak berbeda dengan apa yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Gubernur, yang bertambah dalam perda ini adalah sanksi pidana yang mekanismenya harus lewat proses sidang tindak pidana ringan jadi yang memutuskan adalah hakim, hanya prosesnya cepat," papar Pantas.

"Pidana kurungan kita tidak masukan, jadi kita memang lebih kepada efek pendidikan, maka perda ini juga yang banyak kita tonjolkan adalah edukasi," sambungnya.

Pantas menyebut, sosialisasi mengenai perda tersebut akan dilakukan secara terus menerus untuk memunculkan kesadaran masyarakat dalam menaati protokol kesehatan. Dia mengungkapkan, sanksi pidana berupa denda itu terbatas untuk beberapa pelanggaran.

"Sanksi pidana ini terbatas yang menarik jenazah secara paksa. Nah, itu yang salah satunya, kedua yang menolak dilakukan pengobatan ataupun vaksinasi. Kalau vaksinnya nanti sudah ditemukan. Kemudian yang terakhir, yang melarikan diri dari fasilitas kesehatan," tuturnya.

Dia menyampaiian, sanksi pidana denda yang tercantum merupakan jumlah maksimal. Namun, besaran denda yang harus dibayarkan dapat lebih rendah, tergantung keputusan hakim.

"Sekali lagi, itu ancaman pidana denda yang kita cantumkan, itu adalah maksimal. Tidak bisa lebih, kalau kurangnya itu terserah kepada pertimbangan hakim, bisa saja melihat situasi, hakim mungkin tidak menghukum tidak apa-apa, membebaskan, bisa. Bisa juga melihat kondisi mungkin (denda) hanya Rp 50 ribu. Itu sepenuhnya tergantung kepada kearifan dan kebijaksanaan hakim di dalam menilai setiap peristiwa yang disidang," ungkap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement