Senin 19 Oct 2020 10:14 WIB

Urban Farming Harus Mudah, Murah, dan Menyenangkan

Berkebun urban di negara tropis seperti Indonesia relatif lebih mudah.

Berbagai tanaman sayuran di pekarangan warga saat peresmian Urban Farming Terintegrasi dan Budidaya Ikan Dalam Ember (Budidakmber) Kelompok Wanita Tani (KWT), di RW 03, Kelurahan Sarijadi, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung, Rabu (24/6). Berkebun urban harus mudah, murah, dan menyenangkan
Foto: Edi Yusuf/Republika
Berbagai tanaman sayuran di pekarangan warga saat peresmian Urban Farming Terintegrasi dan Budidaya Ikan Dalam Ember (Budidakmber) Kelompok Wanita Tani (KWT), di RW 03, Kelurahan Sarijadi, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung, Rabu (24/6). Berkebun urban harus mudah, murah, dan menyenangkan

REPUBLIKA.CO.ID, Beruntunglah masyakakat Indonesia. Dikaruniai tanah yang subur, air relatif melimpah, dan matahari bersinar sepanjang tahun. Beragam tanaman bisa tumbuh kembang tanpa perlakuan khusus.

“Berkebun urban di negara tropis seperti Indonesia relatif lebih mudah dibandingkan bercocok tanam di negara  empat musim. Untuk menumbuhkan benih atau bibit tanaman, hanya perlu cahaya matahari, air, dan "dirt" (nutrisi). Indonesia memiliki matahari sepanjang tahun, air yang relatif lebih banyak dan murah, serta tanah yang relatif lebih subur daripada negara empat musim,” ujar Dian Armanda, peneliti urban farming dan biologi lingkungan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, dalam webinar urban farming yang diselenggarakan Citigrower bekerja sama dengan Republika, Sabtu (17/10) malam, dalam keterangan tertulisnya.

Selain Dian, pembicara lain yang memberikan paparan adalah Syarif Syaifulloh, owner Haiqal Garden, diaspora Indonesia yang tinggal di Kota Philadelphia. Amerika Serikat. Di negara subtropis, ungkap Dian, kegiatan urban farming di ruang terbuka (outdoor) hanya bisa optimal di musim panas. Di luar musim itu, apalagi bila jenis tanamannya asal tropis, fasilitas greenhouse atau penanaman secara indoor (dalam ruang) terkadang diperlukan agar tanaman tetap tumbuh.

“Hal ini agar tanaman mendapatkan cahaya, kelembaban udara, air, temperatur, dan nutrisi yang cukup dan terkontrol, bergantung jenis tanamannya,” jelas kandidat doktor dari Institute of Environmental Science, Leiden University, Belanda ini.

Selain faktor ekologis, kata Dian, kunci tanaman bisa tumbuh baik tergantung dari aspek biologis dan pemeliharaan. “Biologis yang dimaksud sini tanaman berasal dari bibit yang secara genetis berkualitas baik. Biologis yang dimaksud sini tanaman berasal dari bibit yang secara genetis berkualitas baik. Sementara terkait pemeliharaan dapat secara manual atau dengan bantuan teknologi, serta mencakup jadwal tanam, kendali hama dan penyakit tanam,” jelas Dian.

photo
Webinar urban farming dengan pembicara Dian Armanda, peneliti urban farming dan biologi lingkungan dari UIN Walisongo Semarang; bersama Syarif Syaifuklloh, owner Haiqal Garden, diaspora Indonesia yang bermukim di Philadelphia (berblangkon kanan atas); dan moderator Ricky Kusmayadi dari BKPM, dalam webinar urban farming yang digelar Citigrower, Sabtu (17/10). - (Istimewa)

Sementara itu, Syarif Syaifulloh menceritakan pengalaman berkebun di negeri Paman Sam itu. Ia mengawalinya dengan bercocok tanam seluas 80 meter persegi lahan pekarangan rumah.

“Sekitar 20 tahun yang lalu saat datang ke Amerika, sering kangen dengan cita rasa masakan khas Indonesia. Cari kangkung susah. Mau daun singkong apalagi. Kalau ada pun mahal sekali. Akhinya nekat belajar menanam secara otodidak,” kata Syarif.

Awalnya, Syarif mengaku sering gagal dalam menanam. Iklim subtropis tidak serta merta membuat tanaman bisa tumbuh subur sepertti di Indonesia.

Perhatikan musim

“Menanam di sini perlu benar-benar memperhatikan musim. Kalau sudah masuk musim dingin, ya tak bisa tumbuh. Tanaman tidak akan kuat bertahan, kecuali ditaruh dalam greenhouse,” ungkap Syarif. Apalagi, kalau ingin menanam tanaman khas Indonesia seperti kangkung. Ini  perlu teknik tersendiri.

Menanggapi Syarif, Dian menyampaikan, ketika menanam tanaman lintas zona, semisal dari bibit tropis ke subtropis atau sebaliknya, yang terpenting adalah penuhi kebutuhan tanaman sesuai kondisi lingkungan asalnya. Namun harus diingat bahwa kita harus berhati-hati dalam membawa benih atau bibit tanaman lintas zona.

“Sebaiknya mengurus pemeriksaan dan izin dari balai karantina terlebih dahulu,” papar Dian yang saat ini bermukim di Belanda.

Walaupun sering gagal, Syarif tak patah arang. Dengan modal semangat dan kegigihannya akhirnya dia bisa sukses membangun kebun urbannya itu. Saat ini dia menanam hingga 40 jenis sayur di kebunnya. Hasil panennya, selain dikonsumsi sendiri, juga dibagikan ke para tetangga dan komunitas.

photo
Webinar urban farming ini dikuti 155 peserta dari seluruh Indonesia. Dihadiri juga secara virtual oleh para diaspora Indonesia yang tersebar di 15 negara di tiga benua, Amerika, Eropa dan Asia. - (Istimewa)

Aksi Syarif ini banyak menginspirasi warga kota di Negara Bagian Pennsylvania itu. Semakin banyak orang yang terlibat bercocok tanam di rumahnya masing-masing. Mereka bahkan sering berdatangan ke rumah Syarif untuk belajar.

Pemerintah lokal pun angkat topi kepada lelaki kelahiran Magelang, Jawa Tengah itu. Kegiatan berkebunnya didukung dengan bantuan bibit, pupuk, dan lahan berkebun dari pemerintah. Bahkan dia dianugerahi penghargaan sebagai bapak teladan Kota Philadelphia.

Baik Dian maupun Syarif mengajak masyarakat Indonesia untuk mengoptimalkan lahan atau ruang yang ada di rumah untuk berocok tanam. Ada banyak pilihan teknik yang bisa digunakan. Mulai dari yang menggunakan media tanah biasa hingga bukan tanah. Dari teraponik, hidroponik, akuaponik, aeroponik, teknik pertanian vertikal, indoor, sampai yang memakai teknologi presisi.

“Pilihan teknik dan skala tanam dikembalikan kepada tujuan, untuk apa kita berkebun urban. Apakah sekadar hobi, subsisten pemenuhan kebutuhan rumah sendiri, atau untuk komersial,” kata Dian.

Namun, apa pun pilihan tekniknya, sambung Dian, seyogianya kegiatan berkebun urban harus mudah, murah, dan menyenangkan. “Gunakan potensi dan apa yang sudah tersedia di rumah. Ruang tanam tidak harus lahan terbuka, tapi bisa juga pada dinding, pagar, tangga, atap rumah, ruang yang menganggur, bahkan basement. Bahan dan alat dapat menggunakan apa yang sudah ada di rumah, termasuk kompos dari sampah organik rumah dan wadah tanam dari barang bekas,” pungkas Dian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement