Ahad 18 Oct 2020 15:31 WIB

Moeldoko 'Serang' Penolak UU Ciptaker

Tudingan Moeldoko untuk pihak-pihak yang memanfaatkan celah perizinan berbelit.

Rep: Sapto Andika Candra / Red: Ratna Puspita
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Presiden Moeldoko menyebut banyak pihak yang 'kepanasan' lantaran DPR bersama pemerintah menggolkan UU Cipta Kerja. Tudingan Moeldoko ini ditujukan kepada pihak-pihak yang selama ini terbiasa memanfaatkan celah korupsi akibat perizinan yang berbelit dan aturan yang tumpang tindih. 

Dengan adanya UU Cipta Kerja, ia mengatakan, ekonomi berbiaya tinggi bisa dipangkas dan ruang untuk korupsi semakin berkurang. "Efisiensi dalam regulasi ini memangkas ekonomi biaya tinggi. Maka itulah banyak perizinan panjang yang dipotong sehingga menutup peluang korupsi. Akibatnya, UU Cipta Kerja ini membuat banyak yang 'kursinya panas' karena kehilangan kesempatan," ujar Moeldoko dalam jawaban tertulis yang disampaikan, Sabtu (16/10). 

Baca Juga

Moeldoko menambahkan, kompetisi antarnegara dalam mengambil peluang investasi memang semakin ketat. Indonesia pun sedang berbenah menjadi bangsa yang bisa mengantisipasi perkembangan lingkungan yang sangat dinamis. 

Dari sisi logistik, ia mengatakan, Indonesia masih menjadi negara Asia dengan biaya logistik paling mahal. Angkanya mencapai 24 persen dari produk domestik bruto (PDB). 

Ini membuat Indonesia kalah bersaing dibandingkan negara Asia lainnya. "Sebut saja vietnam dengan biaya logistik 20 persen, Thailand 15 persen, Malaysia 13 persen, Jepang dan Singapura biaya logistiknya hanya delapan persen," katanya. 

Namun di lapangan, penolakan di lapangan paling banyak berasal dari pekerja, mahasiswa, hingga akademisi. Penolakan lantaran ada sejumlah pasal di omnibus law yang memangkas hak para pekerja. Belum lagi ada pasal-pasal yang dianggap mengancam kelestarian lingkungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement