Jumat 16 Oct 2020 05:30 WIB

Pakaian Muslim Harus Berupa Jubah atau Abaya dan Cadar?

Islam hanya menegaskan agar paku Muslim bagus dan menutup aurat.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Islam hanya menegaskan agar paku Muslim bagus dan menutup aurat. Ilustarasi pakaian
Foto: ANTARA/syaiful arif
Islam hanya menegaskan agar paku Muslim bagus dan menutup aurat. Ilustarasi pakaian

REPUBLIKA.CO.ID, Sebagian kalangan beranggapan bahwa Muslim harus berpakaian sebagaimana masyarakat Islam era Rasulullah SAW, yaitu jubah untuk laki-laki dan abaya untuk perempuan. Benarkah demikian?

Mantan mufti agung Mesir, Syekh Prof Ali Jum’ah, menjelaskan pakaian merupakan alat yang sempurna untuk menutup aurat terutama bagi perempuan. Tidak ada pakain khusus dalam Islam seperti pakaian yang menutup semua tubuh (cadar) yang wajib dipakai umat Islam. 

Dia menjelaskan, tidak dikhususkannya dalam pakaian ini ditegaskan Allah SWT dalam Alquran surat  Al-A'raaf ayat 31: 

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

" Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid. Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." 

Menurut Syekh Ali Jum'ah, Allah SWT menjadikan konteks Al-A'raf ayat 31 ini umum bagi seluruh anak Adam, baik laki-laki maupun perempuan, Muslim ataupun non-Muslim. Dan Allah memerintahkan mereka untuk mengenakan pakaian yang indah. 

Maksudnya, mengenakan pakaian yang bisa menutupi aurat dan pakaian yang indah di setiap tempat berkumpulnya anak Adam as, baik di masjid, sekolah, universitas, tempat bekerja, dan tempat lainnya. "Ayat di atas menetapkan sebuah asal hukum untuk perbaikan agama dan masyarakat," katanya.

Menurut kalangan ahli tafsir, sebab turunnya ayat itu berkaitan dengan kebiasaan orang-orang Arab dulu yang bertawaf mengelilingi Ka'bah dalam keadaan tidak memakai pakaian (telanjang), baik laki-laki maupun perempuan.

Perbuatan telanjang seperti ini banyak terjadi pada bangsa-bangsa lain. 

"Bahkan sampai hari ini pun masih dijumpai di sebagian negara yang belum mendapatkan cahaya Islam," katanya.

Ayat di atas juga, kata Syekh Ali Jum'ah, tidak menentukan jenis dan bentuk pakaian yang harus dipakai, karena Islam mempunyai syariat yang relavan di setiap masa dan tempat. 

Perintah umum dalam ayat di atas adalah, hendaknya seorang mengenakan pakaian yang indah setiap bertemu dengan orang lain sesuai dengan kemampuannya.  

Selain itu, hendaknya selaras dengan kebiasaan di masanya dan adat istiadat kaumnya. Untuk itu, Rasulullah tidak pernah memiliki pakaian khusus yang berbeda dengan pakaian orang di masanya. "Beliau juga tidak pernah membuat bentuk khusus pakaian, agar tidak menyusahkan umatnya," katanya.  

Ada keterangan dalam kitab-kitab hadits bahwa Rasulullah SAW pernah mengenakan pakaian yang agak ketat tapi juga pernah memakai pakaian yang agak longgar. Begitu pula para sahabat dan tabi'in rumah mereka juga melakukan hal yang sama. Tidak pernah ada tuntunan dari Rasulullah salah satu sahabat atau tabi'in menggunakan bentuk khusus pakaian, baik untuk laki-laki maupun perempuan. 

Mengenai urusan bentuk pakaian, desainnya yang melingkari tubuh, dan segala macam perincian, syariat menyerahkannya kepada ahlinya. Sebab, hal semacam itu termasuk masalah duniawiyah yang bisa diketahui berdasarkan kebutuhan trend dan adat istiadat masyarakat.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah melihat seorang laki-laki mengenakan mantel Arab (Hejaz) berbodril benang putih dan hitam. Dia Lalu berkata, "Tanggalkan bajumu ini, dan pakailah pakaian penduduk negerimu". 

Laki-laki itu membantah, "Pakaian ini tidak haram dipakai." Imam Ahmad menjawab" Seandainya kamu sedang di Makkah atau di Madinah, aku tidak akan seperti ini," katanya.     

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement