Kamis 15 Oct 2020 21:09 WIB

Polri Ungkap Unggahan Aktivis KAMI Sehingga Mereka Ditangkap

Sembilan aktivis KAMI ditangkap atas dugaan penghasutan terkait demo UU Ciptaker.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andri Saubani
Bareskrim Polri mengungkap 9 orang yang terafiliasi dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dijadikan tersangka diduga terkait kerusuhan unjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja, dirilis di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (15/10).
Foto: Mabes Polri
Bareskrim Polri mengungkap 9 orang yang terafiliasi dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dijadikan tersangka diduga terkait kerusuhan unjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja, dirilis di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (15/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mabes Polri pada hari ini mengungkap unggahan anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dijadikan tersangka penghasutan terkait demontrasi penolakan Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang berakhir rusuh pada tanggal 8 Oktober 2020 lalu. Ada sembilan orang ditangkap di tempat dan waktu yang berbeda.

"Ada beberapa kegiatan yang terpantau di media sosial, yang saya sampaikan ini dari Medan. Ada dua laporan polisi dan empat tersangka. Kita lakukan penangkapan dan penahanan," ujar Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen Argo Yuwono saat konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (15/10).

Baca Juga

Kesembilan tersangka tersebut adalah petinggi KAMI, Syahganda Nainggolan (SN), Jumhur Hidayat (JH) dan Anton Permana (AP), Ketua KAMI Medan Khairi Amri (KH), Juliana (JG), Novita Zahara S (NZ), Wahyu Rasasi Putri (WRP) Kingkin Anida (KA) dan Deddy Wahyudi (DW). Dalam konferensi pers tersebut, mereka tampak mengenakan baju warna orange khas tahanan dengan tangan terborgol.

Menurut Argo, dari empat tersangka yang diamankan dari Medan memiliki peran masing-masing. Pertama, Khairi Amri berperan sebagai admin grup Whatsapp KAMI Medan. Dalam grup itu, Khairi menyebut bahwa "DPR RI sarang maling dan setan". Kemudian kiriman pesan dari inisial KA ini memuat tulisan mengumpulkan saksi melempari DPR RI dan melempari polisi. Kemudian ada tulisan, "Kalian jangan takut dan jangan mundur".

"Jadi ini tersangka KA yang dia admin KAMI Medan akan kita perdalam kembali. Di sana banyak member-nya masih didalami Cyber crime Polri, nanti evaluasi," kata Argo.

Kemudian tersangka Juliana, dalam grup Whatsapp menulis, "Batu kena satu orang, bom molotov bisa kebakar 10 orang, dan bensin bisa berceceran". Kemudian ada juga menyampaikannya, "Buat skenario seperti 98, penjarahan toko China dan rumah-rumahnya". Kemudian ada juga unggahan, "Preman diikutkan untuk menjarah". Kemudian tersangka Novita Zahara menulis, "Medan cocoknya didaratin" dan Wahyu Rasasi Putri menyampaikan, "Wajib bawa bom molotov".

"Ada bom molotovnya sama, Pylox ini untuk membuat tulisan. Dan bom molotovnya untuk apa? Untuk melempar. Melempar apa? Fasilitas ada mobil terbakar yang dilempar, ini gambarnya sehingga bisa terbakar," kata Argo, menerangkan.

Selanjutnya, tersangka Jumhur Hidayat, diduga mengunggah ujaran kebencian melalui akun Twitter pribadinya yang berkaitan dengan UU Ciptaker yang tengah jadi polemik. Dalam akun Twitter-nya, Jumhur menuli, "Undang-undang memang untuk primitif, investor dari RRT, dan pengusaha rakus". Jumhur dikenakan Pasal 28 ayat 2 kita juncto Pasal 45A ayat 2 UU No 19 Tahun 2016 tentang UU ITE, Pasal 14 ayat 1 dan 2, dan pasal 15 UU No 1 Tahun 1946, dengan ancaman 10 tahun penjara.

"Yang bersangkutan modusnya mengunggah konten ujaran kebencian di Twitter milik yang bersangkutan, milik tersangka JH ini. Tersangka ini menyebarkan, motifnya menyebarkan muatan berita bohong tersebut mengandung kebencian berdasarkan SARA," ungkap Argo.

photo
Bareskrim Polri mengungkap 9 orang yang terafiliasi dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang dijadikan tersangka diduga terkait kerusuhan unjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja, dirilis di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (15/10). - (Mabes Polri)

Sementara, Deddy Wahyudi mengunggah tulisan, "Bohong kalau urusan Omnibus Law bukan urusan Istana, tapi sebuah kesepakatan". Polisi menjerat tersangka dengan tuduhan melakukan ujaran kebencian dan membuat kegaduhan atau keonaran dengan berita bohong. Deddy dijerat dengan pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45A ayat 2 UU ITE soal ujaran kebencian. Kemudian polisi juga menjerat Dedy dengan pasal 14 ayat 1 dan 2, serta pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana terkait membuat gaduh/keonaran dengan berita bohong atau hoaks.

Selanjutnya, tersangka Anton Permana, kata Argo, menuliskan komentar di akun Facebook dan Youtube, salah satunya tentang multifungsi Polri melebihi Dwifungsi ABRI. Dia juga menulis, "NKRI kepanjangan dari Negara Kepolisian Republik Indonesia". Anton juga disebut menulis, "Disahkan UU Ciptaker bukti negara telah dijajah. Juga tulisan, negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, VOC gaya baru".

"Yang bersangkutan dikenakan Pasal 28 ayat 2, 45a ayat 2 UU ITE pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 dan 207 KUHP, dengan ancaman pidana 10 tahun penjara," ucap Argo.

Untuk Syahganda Nainggolan, Argo mengaku, pihaknya menemukan foto yang diberi keterangan tidak sesuai dengan kejadian. Motifnya, Syahganda mendukung demonstran dengan berita yang tidak sesuai gambar. Dia menyampaikan ke Twitter-nya, yaitu salah satunya menolak omnibus law, mendukung demonstrasi buruh, belasungkawa demo buruh.

"Dan motifnya mendukung dan men-support demonstran dengan berita tidak sesuai gambarnya. Pasal 28 ayat 2, 45A ayat 2 UU ITE Pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU 1 tahun 1946, 6 tahun," kata Argo.

Terakhir, tersangka Kingkin Anida, menurut Argo, Kingkin mengunggah sejumlah butir UU Ciptaker di Facebook yang dianggap tidak benar oleh polisi. Argo mengeklaim, 13 butir UU Ciptaker yang disampaikan Kingkin bertentangan semuanya. Sehingga, Kingkin diduga menyiarkan berita bohong di Facebook.

"(Dikenakan) Pasal 28 ayat 2, 45A ayat 2 UU ITE, Pasal 14 ayat 1 dan 2 dan Pasal 15 UU 1 tahun 1946. Barbuk ada HP samsung, simcard, KTP. Ini semua kita sudah periksa saksi ahli pidana, ahli bahasa, ahli IT berkaitan dengan tersangka dalam 1 laporan polisi," tutup Argo.

Kingkin Anida juga diduga mengumpulkan massa sembari membagikan nasi bungkus dan dia juga menyampaikan arahan. Menurut Argo, ini jadikan barang bukti di sidang pengadilan dan semuanya sudah di-BAP.

Pembelaan KAMI

Presidium KAMI pada Kamis (15/10) mendatangi Bareskrim Polri untuk bertemu dengan pegiat KAMI yang tengah di tahan. Dalam kesempatan itu, KAMI juga meminta Polri membebaskan para pegiatnya yang ditangkap.

"Kami datang ke sini dalam komposisi lengkap, baik presidium eksekutif maupun deklarator. KAMI adalah organisasi yang memegang teguh konstitusi dan menjunjung tinggi Moral. Untuk itu kami datang ke sini untuk menyampaikan petisi kepada bapak Kapolri," ujar salah satu presidium KAMI, Gatot Nurmantyo. di Kompleks Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (15/10).

Gatot yang datang bersama Din Syamsuddin, menginginkan agar kepolisian yang benar-benar mengawal hukum. Sehingga, kepolisian bisa memberikan contoh tauladan dalam penegakan hukum.

"Kalau ada kekurangan-kekurangan kewajiban kami sebagai warga negara menyampaikan pendapat-pendapat dalam petisi ini, berkaitan dengan saudara-saudara kami yang ditahan. Bukan hanya yang dari KAMI, termasuk yang lain-lainnya yang ditahan," tutur Gatot.

Dalam kesempatan itu, KAMI meminta Polri membebaskan para para pegiatnya dari tuduhan dikaitkan dengan penerapan UU ITE yang banyak mengandung pasal-pasal karet dan patut dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan Konstitusi yang memberi kebebasan berbicara dan berpendapat kepada rakyat warga negara.

"Kalaupun UU ITE tersebut mau diterapkan, maka Polri harus berkeadilan yaitu tidak hanya membidik KAMI saja sementara banyak pihak di media sosial yang mengumbar ujian kebencian yang berdimensi SARA tapi Polri berdiam diri," tegas KAMI lewat pernyataan bersama.

photo
Klaster Demo Penolakan UU Ciptaker - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement