Rabu 14 Oct 2020 00:05 WIB

UU Ciptaker, Kementan: Pangan Dalam Negeri Tetap Prioritas

Kementan menyebut UU Ciptaker lebih fokus pada kedaulatan pangan

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Kuntoro Boga Andri, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik,  Kementerian Pertanian. Kuntoro mengatakan hingga kini prioritas utama pemenuhan kebutuhan pangan adalah produksi dalam negeri, sejalan dengan yang dirumuskan dalam UU Pangan Pasal 3.
Foto: istimewa
Kuntoro Boga Andri, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kementerian Pertanian. Kuntoro mengatakan hingga kini prioritas utama pemenuhan kebutuhan pangan adalah produksi dalam negeri, sejalan dengan yang dirumuskan dalam UU Pangan Pasal 3.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja telah disahkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Beberapa pengamat pertanian mengatakan bahwa pada sektor pertanian undang-undang tersebut berpotensi semakin memperluas impor pangan.

Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga menjelaskan hal tersebut tidak benar dan perlu diluruskan. Kuntoro  menegaskan, hingga kini prioritas utama pemenuhan kebutuhan pangan adalah produksi dalam negeri, sejalan dengan yang dirumuskan dalam UU Pangan Pasal 3.

"Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa, pemenuhan kebutuhan pangan  berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Dengan basis itu maka kita memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri tetap mengutamakan produksi dalam negeri," kata Kuntoro dalam Siaran Pers Kementan, Selasa (13/10).

Selain itu, ia juga menambahkan, urutan prioritas dalam UU tersebut menunjukkan prioritas pemerintah, dengan menempatkan produksi pangan dalam negeri sebagai prioritas utama.

"Impor hanya dilakukan sebagai upaya kesiapsiagaan bila dalam keadaan tertentu kita tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri dan cadangan, maka impor opsi terakhir untuk dilakukan,"ujar Kuntoro.

Kemudian, terkait dengan perubahan pasal 15, Kuntoro menuturkan, justru ketika kebutuhan pangan dalam negeri tercukupi, maka diharapkan Indonesia mampu mengekspor ke luar negeri. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 15 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani yang menyebut bahwa pemerintah berkewajiban melakukan peningkatan produksi pertanian.

"Kemudian, dalam pasal tersebut disebutkan pula kewajiban pemerintah lainnya, membentuk strategi perlindungan petani," bebernya.

Terakhir, mengenai indikator kepentingan petani sebagai produsen pangan, Kuntoro menjelaskan bahwa kepentingan petani dalam pasal 36 terkait dengan harga jual produk dan juga kesejahteraan petani.

"Sebagai contoh pada saat panen raya tentu, pemerintah  tidak akan impor, karena kita melihat ada kepentingan petani terkait dengan harga jual produknya yang harus tetap stabil, sehingga mereka bisa mendapatkan harga jual yang layak dan juga pendapatan yang memadai sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement