Selasa 13 Oct 2020 13:22 WIB

Masih Perlukah Bank di Masa Depan?

Bank sebagian besar tidak dianggap sebagai pembangkit tenaga teknologi atau digital.

Masihkah bank diperlukan di masa depan ketika era digital merajai. Foto ATM bank (Ilustrasi).
Foto:

Bagaimana dengan China? Saat ini, hampir 80 persen populasi Tiongkok menggunakan satu atau kedua pemain dompet digital terkemuka -Alipay dari AntFinancial dan Tencent WeChat Pay- setiap hari, keduanya pun dikabarkan sudah resmi beroperasi Indonesia.

Alipay mendorong terciptanya Yu'e Bao, dana pasar uang seluler, dengan deposito hampir 300 Miliar dolar AS pada puncaknya. Akses simpanan dan kredit telah terbukti berubah di bawah skema dompet digital Cina ini.

Salah satu tujuan utama penyertaan tidak hanya akses ke pembayaran tetapi juga kredit. Akses kredit telah terbukti dapat memobilisasi warga yang paling miskin dan terkucil secara finansial untuk keluar dari kemiskinan lebih cepat daripada cara lainnya.

Antara 2013-2020, Lending Club yang berbasis di AS telah mengeluarkan pinjaman hampir 60 Miliar dolar AS. Ant Group, per 30 Juni 2020, memiliki kredit konsumen lebih dari RMB ¥ 1,7 Triliun atau setara dengan 250 Miliar dolar AS dalam bentuk pinjaman.

Sekitar 500 juta nasabah mengambil pinjaman melalui Alipay dalam 12 bulan terakhir. Jelas, dompet digital sangat penting dalam memberikan kredit non-friksi kepada warga negara China yang sebelumnya mungkin tidak memiliki akses ke perbankan.

Lebih dari satu miliar orang di Asia sudah menggunakan dompet digital untuk membayar barang dan jasa, baik online maupun offline. Semakin banyak, mereka tidak perlu membawa uang tunai. Di Cina, 80 juta usaha kecil dan mikro UKM di daerah perkotaan dan pedesaan sekarang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengakses kredit, memungkinkan mereka memperoleh dukungan keuangan untuk mengembangkan usaha mereka dan pada gilirannya menciptakan lebih banyak lapangan kerja.

Teknologi digital telah membuat lautan luas bagi individu dan bisnis yang tidak memiliki rekening bank dan berpenghasilan rendah, menjadi aset yang menarik untuk infrastruktur keuangan digital yang sedang berkembang di Tiongkok dan lebih luas lagi, dengan pertumbuhan bank digital seperti MYbank dan WeBank. MYbank yang berbasis di Hangzhou telah melayani lebih dari 20 juta UKM pada 2019, sementara WeBank (berbasis di Shenzhen, Cina) saat ini memiliki lebih dari 200 juta pelanggan ritel, semuanya diperoleh hanya dalam 6 tahun terakhir. Sebagian besar basis pelanggan bank penantang (challenger bank) ini berasal dari mereka yang sebelumnya underbank dan unbankable, dan ukuran pinjaman rata-rata untuk WeBank di bawah 50 dolar AS, membuat pelanggan seperti itu tidak menarik bagi sebagian besar bank tradisional dunia.

Ecosystem Fintech di China juga semakin matang. Sementara Shenzhen dan Hangzhou adalah pusat fintech besar dengan sendirinya, Shanghai sekarang secara konsisten dilihat sebagai kota utama tempat perkembangan fintech bergabung dengan elemen bisnis Tiongkok yang lebih tradisional.

Survei Indeks Pusat Keuangan Global yang dilakukan pada akhir 2019 menunjukkan Shanghai mengalahkan Guangzhou dan Shenzhen dalam peringkat kota fintech global teratas. Shanghai semakin menjadi tempat raksasa teknologi China, bank-bank terkemuka, dan pemain fintech yang terus berkembang, sementara Beijing menyusun kebijakan dan aspek hukum dari peningkatan pesat fintech di China.

Pada 2020, dengan munculnya pandemi, transformasi digital seolah dipercepat, melesat naik bak kilat di siang bolong, mengubah lanskap industri perbankan dan jasa keuangan secara radikal. Saat ini, lebih dari 4 miliar orang, atau sedikit di atas 65 persen orang dewasa, memiliki akses ke rekening bank atau rekening uang di handphone masing-masing (e-money). Meskipun masih menyisakan hampir sepertiga orang dewasa, sekitar 1,7 miliar orang tidak memiliki rekening bank (statistik bank dunia), kami telah melihat jumlah total yang tidak memiliki rekening bank hampir setengahnya hanya dalam satu dekade.

Pada musim panas 2016, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan akses Internet sebagai hak asasi manusia, tetapi jika Anda tinggal di belantara Irian Jaya, puncak gunung merapi atau suku pedalaman di Kalimantan, ini mungkin terdengar konyol, proposisi yang dibuat-buat. Sementara infrastruktur telekomunikasi di Indonesia terus ditingkatkan akses 4G ke 5G, kabel bawah laut, sateli palapa dan lain-lain itu tidak cukup untuk membawa kita ke akses internet yang hampir ada di mana-mana. Namun, perusahaan seperti proyek SpaceX Starlink Elon Musk, sedang berupaya membuat akses internet latensi rendah tersedia dari mana saja di permukaan bumi.

Menggunakan teknologi seperti konstelasi satelit Starlink, balon cuaca internet Google yang dikenal sebagai "Loon", jaringan satelit Kuiper Amazon, dan bahkan jaringan mesh di darat, akses internet global di mana-mana dapat dimungkinkan pada tahun 2030 atau bahkan lebih cepat. Jelas penambahan BTS hampir mirip nasibnya dengan jumlah kantor cabang bank yang semakin menurun.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement