Ahad 11 Oct 2020 03:39 WIB

Keuntungan dan Tujuan Menjalankan Ekonomi Islam

Selain kepemilikan, ekonomi Islam juga menganut asas konsep keseimbangan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolandha
Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat ditujukan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan seorang hamba dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya yang ada. Dan Islam memberikan batasan serta pakem tersendiri dalam syariat ekonomi yang berkeadilan yang menghasilkan keuntungan bagi penganutnya.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat ditujukan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan seorang hamba dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya yang ada. Dan Islam memberikan batasan serta pakem tersendiri dalam syariat ekonomi yang berkeadilan yang menghasilkan keuntungan bagi penganutnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat ditujukan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan seorang hamba dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya yang ada. Dan Islam memberikan batasan serta pakem tersendiri dalam syariat ekonomi yang berkeadilan yang menghasilkan keuntungan bagi penganutnya.

Dalam buku Konsep Ekonomi dalam Alquran karya Maharati Marfuah dijelaskan, dalam masalah perekonomian, Alquran memang secara spesifik tidak menjabarkan tentang sistem seperti apakah ekonomi yang dimaksud. Apakah menggunakan sistem kapitalisme, sosialisme, atau liberalisme? Alquran hanya menjelaskan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh umat Islam dalam mengatur perekonomian.

Baca Juga

Pertama, adalah mengenai konsep kepemilikan. Dalam Islam, kepemilikan atas suatu barang diatur sedemikian rupa agar tak ada kedzaliman antar-sesama manusia. Yakni Allah Sang Pemilik langit dan bumi, sehingga demikian segala aktivitas umat Muslim tidak lepas dari hubungan vertikal dengan Allah.

Implikasi prinsip ini ialah kegiatan ekonomi tidak lain merupakan bagian ibadah kepada Allah, yang mana di dalamnya dimintai pertanggung-jawaban. Dengan begitu, kekayaan ekonomi haruslah digunakan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup manusia guna meningkatkan pengabdiannya kepada Allah SWT.

Islam tidak melarang umatnya untuk menjadi kaya. Bahkan, di dalam Alquran Allah memerintahkan manusia untuk bersungguh-sungguh dalam mencari rezeki yang diistilahkan di dalam bahasa Alquran dengan sebutan fadhlullah (limpahan karunia Allah). Dalam redaksi lainnya di Alquran, Allah menyebut harta kekayaan dengan sebutan khair (kebaikan).

Itu artinya, harta dinilai sebagai sesuatu yang baik dalam agama asal diperoleh dengan cara yang benar. Kemudian dalam konsep kepemilikan, dalam ekonomi Islam juga dikenal bahwa manusia merupakan elemen pengelola ekonomi.

Syekh Sayyid Quthb menjelaskan bahwa Allah menciptakan seluruh yang ada di bumi ini untuk kehidupan manusia. Dengan demikian keberadaan manusia di bumi memiliki peran yan sangat besar, yaitu untuk memanfaatkan sumber daya alam yang telah disiapkan.

Manusia sebagai pihak yang diberi kewenangan mandat pengelolaan ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah Al-Mulk ayat 67 berbunyi: “Huwalladzi ja’ala lakumul-ardha dzulaalan famsyu fi manakibiha wa kuluu min rizqihi wa ilaihi an-nusyuru,”. Yang artinya: “ Dialah yang menjadikan bumi untukmu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kami dibangkitkan,”.

Menurut Imam Al-Qurthubi, ayat tersebut mengandung perintah ibahah (boleh). Maka, bumi yang diciptakan Allah ini boleh dikelola manusia dengan dua cara. Pertama, memanfaatkan bumi untuk keperluan hidup jasmani dan kelangsungan kehidupan manusia dan lingkungan; kedua, menjadikan alam sebagai wahana melahirkan berbagai teori dan konsep yang terkait dengan ilmu pengetahuan.

Selain konsep kepemilikan, ekonomi Islam juga menganut asas konsep keseimbangan. Poin ini cukup penting, sebab konsep ini akan mengantar manusia kepada sebuah keyakinan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi.

Yaitu kesembingan urusan dunia dengan akhirat, yakni sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Qashash ayat 77 berbunyi: “Wabtaghi fima aatakallahu ad-daaral-akhirata wa la tansa nashibaka minadunya,”. Yang artinya: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia,”.

Agama menganjurkan agar setelah seseorang selesai menjelankan ibadah kepada Allah, maka hendaklah mereka bertebaran di muka bumi untuk mencari rezeki dan anugerah yang diberikan Allah SWT.

Selanjutnya adalah keseimbangan kepemilikan harta. Dalam ekonomi Islam, Islam mencegah segala bentuk monopoli dan pemusatan ekonomi pada satu individu atau kelompok tertentu.

Hal itu direalisasikan melui diwajibkannya zakat, dianjurkannya sedekah dan juga infak. Allah berfirman dalam Alquran Surah Al-Hasyr ayat 7 berbunyi: “Kay la yakuna dulalatan bainal-aghniya-I minkum,”. Yang artinya: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang kaya saja di antara kamu,”.

Dan, Islam juga mengajarkan tentang keseimbangan pembelajaran harta. Dalam ekonomi Islam, terdapat keseimbangan antara larangan melakukan penimbunan harta dengan larangan pemborosan. Konsep keseimbangan dalam tingkah laku ekonomi ini bertujuan untuk menjauhi sifat konsumerisme.

Selanjutnya, ekonomi Islam juga melarang pelakunya untuk berlaku zhalim dan dizhalimi. Allah berfirman dalaSurah Al-Baqarah ayat 278-279 berbunyi: “Ya ayyuhalladzina aamanu-ttaqullaha wa dzaaru maa baqiya mina-rriba in kuntum mu’minina. Fa in lam taf’alu fa’dzanuu biharbin minallahi wa Rasulihi wa ina tubtum falakum ru-usu amwalikum laa tazhlimuna wa laa tuzhlamuna,”.

Yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertawalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zhalim (merugikan) dan tidak pula dizhalimi (dirugikan),”.

Atas dalil tersebut, agama Islam memasukkan tindakkan preventif agar dalam melaksanakan kegiatan ekonomi tak ada yang berbuat zhalim.

Dan yang tak kalah penting dalam ekonomi Islam adalah mengenai konsep halal dan haram. Dalam Islam, suatu harta benda bukanlah tujuan utama dari kegiatan ekonomi dengan mengabaikan halal dan haramnya benda maupun cara mendapatkannya.

Islam memperkenalkan konsep halal dan haram dalam sistem ekonominya, konsep ini memegang peranan penting bagi wilayah produksi maupun konsumsi. Maka dikenal dalam kaidah fikih muamalah adalah: “Al-ashlu fil-asya-i al-ibahatu hatta yadullu ad-dalilu ala at-tahrimi,”. Yang artinya: “Asal dari segala sesuatu adalah halal,”.

Karena dalam Islam kepemilikan harta bukanlah tujuan utama berekonomi. Islam memberikan tuntunan dan tujuan dalam berekonomi adalah dengan menjalankan aktivitas kerja ataupun usaha dengan cara yang baik dan menjauhkan yang batil.

Allah berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 29: “ya ayyuhalladzina amanu laa ta’kulu amwalakum bainakum bil-baathili illa an takuna tijaaratan an taradhin minkum,”. Yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian memakan harta di antara kalian dengan batil, kecuali jual-beli saling ridha di antara kalian,”.

Menurut Al-Maraghi, kata ‘makan’ dalam ayat tersebut harus dimaknai secara luas dengan mengambil semua bentuknya. Sebab frekuensi pemanfaatan harta benda lebih banyak pada sasaran untuk dimakan. Sedangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, ayat tersebut bermakna usaha yang dilakukan dengan cara yang batil tidak sesuai dengan ajaran syariat. Sebab hakikat harta sejatinya hanyalah milik Allah, pencarian harta itu semata-mata dipergunakan untuk ibadah kepada Allah.

Dan yang sama pentingnya, di dalam ekonomi Islam dikenal dengan konsep tolong menolong dalam kebaikan. Sehingga selain ekonomi dapat dijalankan secara bersama-sama dan halal, kebaikan juga diharapkan dapat disebar melalui aktivitas ekonominya sehingga menimbulkan ridha Allah SWT.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement