Jumat 09 Oct 2020 19:29 WIB

Rumah Zakat Respon Potensi Tsunami Laut Selatan Jawa

Perlu ada mitigasi kembali yang diarahkan kepada relawan Rumah Zakat

Riset yang dikemukakan para peneliti Institut Teknologi Bandung bahwa adanya potensi gempa berkekuatan besar di Selatan Pulau Jawa dan memicu terjadinya Tsunami seakan membangunkan kepedulian kita kembali untuk tetap waspada terhadap ancaman bencana.
Foto: istimewa
Riset yang dikemukakan para peneliti Institut Teknologi Bandung bahwa adanya potensi gempa berkekuatan besar di Selatan Pulau Jawa dan memicu terjadinya Tsunami seakan membangunkan kepedulian kita kembali untuk tetap waspada terhadap ancaman bencana.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Riset yang dikemukakan para peneliti Institut Teknologi Bandung bahwa adanya potensi gempa berkekuatan besar di Selatan Pulau Jawa dan memicu terjadinya Tsunami seakan membangunkan kepedulian kita kembali untuk tetap waspada terhadap ancaman bencana. Relawan Rumah Zakat mengangkat tema ini melalui media daring yang dikemas menjadi dua bagian, yaitu kampus relawan dan seminar kebencanaan yang diikuti lebih dari 100 partisipan. Dalam pertemuan ini dibahas bagaimana sejarah bencana yang pernah terjadi di sepanjang Pantai Selatan Jawa, dampak kerugian, hingga pola rencana evakuasi.

Pada tahun 1994 dan 2006, gempa bumi dengan magnitude kurang dari 8 pernah terjadi di wilayah Banyuwangi, jawa Timur dan Pangandaran. Hal inilah yang menjadi warning system untuk wilayah di sepanjang selatan Jawa, seperti Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Pacitan dan Banyuwangi. Hal ini juga seiring dengan bertambah pesatnya aktivitas penduduk di wilayah tersebut.

Untuk itu perlu ada mitigasi kembali yang diarahkan kepada relawan Rumah Zakat, mengingat Desa Berdaya Rumah Zakat tersebar di ratusan titik sepanjang pantai Indonesia. Dengan harapan, wawasan ini kembali disampaikan kepada masyarakat di masing-masing wilayah. Bencana memang tidak bisa dihindari, tapi bisa diminimalisir dampak kerugiannya. Dampak kerugian bencana sangat beragam, diantara: kehilangan nyawa, hancurnya harta benda, lumpuhnya perekonomian, terhenti proses belajar mengajar dan lain sebagainya.

Pemateri juga menambahkan bahwa dalam situasi di tengah pandemic ini, ada tambahan protocol untuk merespons terjadinya bencana. Mulai dari protocol kesehatan hingga manajemen pengungsian. Ada sebuah pola baru yang harus diterapkan agar tidak terjadi multi hazard dalam waktu yang bersamaan. Seperti apa yang disampaikan oleh IOM (Internatinal Organization for Migration), yaitu Badan Migrasi PBB yang bertugas membantu pemerintah dalam menangani tantangan migrasi, mendorong pembangunan sosial dan ekonomi melalui migrasi dan menegakkan martabat serta kesejahteraan migran, keluarga dan komunitasnya (sumber: Indonesia.iom.int).

 

Ada beberapa poin yang paling tidak bisa kita terapkan jika terjadi pengungsian, antara lain:

1. Tersedianya tempat cuci tangan yang biak dan penerapan jarak aman

2. Menerapkan pola komunikasi, yaitu dibentuknya focal point untuk masing-masing blok sehingga

berkurangnya pertemuan-pertemuan di area pengungsian

3. Mengelompokkan pengungsi berdasarkan kerentanannya, seperti lansia atau yang sudah memiliki

riwayat penyakit sebelumnya

4. Menyediakan papan informasi yang bisa menjadi pedoman bagi pengungsi untuk mengakses layanan

yang tersedia di area pengungsian

5. Adanya pola distribusi bantuan, sehingga tidak adanya kerumunan saat logistic berdatangan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement