Jumat 09 Oct 2020 16:30 WIB

Ini Cerita 7 Jurnalis yang Jadi Korban Polisi saat Demo

AJI dan LBH Pers mendesak Kapolri bebaskan jurnalis dan pers mahasiswa yang ditahan.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Agus Yulianto
Seorang buruh berswa foto dalam aksi demo di depan Balaikota DKI Jakarta, Jumat(10/11). Aksi unjuk rasa ini bertujuan menolak upah murah dan meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk merevisi UMP DKI Jakarta.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Seorang buruh berswa foto dalam aksi demo di depan Balaikota DKI Jakarta, Jumat(10/11). Aksi unjuk rasa ini bertujuan menolak upah murah dan meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk merevisi UMP DKI Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak tujuh jurnalis unjuk rasa tolak menjadi korban kekerasan anggota Polri dalam unjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di Jakarta pada Kamis (8/10), Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers memperkirakan jumlah ini bisa bertambah, dan hingga kini kedua lembaga masih terus menelusuri dan memverifikasi perkara.

Jurnalis CNNIndonesia.com Tohirin, mengaku, kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi ketika dia meliput demonstran yang ditangkap kemudian dipukul di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Ketika itu dia tak memotret atau merekam perlakuan itu.

Polisi yang tak mempercayai kesaksiannya, lantas merampas dan memeriksa galeri ponselnya. Polisi marah ketika melihat foto aparat memiting demonstran. Akibatnya, gawai yang dia gunakan sebagai alat liputan itu dibanting hingga hancur, maka seluruh data liputannya turut rusak.

"Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm," kata Thohirin, yang mengklaim telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan ‘Pers’ miliknya ke aparat.

Peter Rotti, wartawan Suara.com yang meliput di daerah Thamrin, juga menjadi sasaran polisi. Saat ia merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran, terduga seorang polisi berpakaian sipil serba hitam dan anggota Brimob menghampirinya. Aparat meminta kamera pemuda itu, namun Peter menolak lantaran dia jurnalis yang meliput secara resmi.

Polisi menolak pengakuan Peter, lantas merampas kameranya. Peter diseret, dipukul, dan ditendang gerombolan polisi itu, hingga tangan dan pelipisnya memar. "Akhirnya kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya," ujar Peter.

Ponco Sulaksono, jurnalis dari merahputih.com turut jadi sasaran amuk polisi. Dia ‘hilang’ beberapa jam, sebelum akhirnya diketahui kalau ia dibekuk aparat. Ponco ditahan di Polda Metro Jaya. Aldi, jurnalis Radar Depok sempat merekam momen Ponco keluar dari mobil tahanan. Aldi yang bersitegang dengan polisi, turut diciduk.

Polisi tak segan pula menangkap pers mahasiswa yang turut meliput aksi. Berthy Johnry, (anggota Lembaga Pers Mahasiswa Diamma Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta), Syarifah dan Amalia (anggota Perslima Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), Ajeng Putri, Dharmajati, dan Muhammad Ahsan (anggota Pers Mahasiswa Gema Politeknik Negeri Jakarta) bernasib sama: mereka ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya bersama massa aksi lainnya.

Dalam pernyataan resminya, Jumat (9/10), AJI Jakarta dan LBH Pers menegaskan, penganiayaan oleh polisi serta menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Menurut Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani, kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan kepolisian kerap berulang. Aksi #ReformasiDikorupsi pun aparat mengganyang wartawan yang meliput. Namun, hingga hari ini, perkara itu, tidak rampung meski AJI dan LBH Pers telah melaporkan kasus itu ke polisi.

"Sanksi etik Polri tak cukup untuk menghukum para terduga kekerasan. Oktober tahun 2019, kami telah melaporkan 4 kasus kekerasan (2 laporan pidana dan 2 di Propam), namun tak satupun yang berakhir di meja pengadilan," ujar Asnil.

Meski wartawan telah melengkapkan diri dengan atribut pers dan identitas pembeda di lokasi demonstrasi, tetap saja mereka menjadi sasaran amuk polisi. Dalih polisi ‘kartu pers wartawan tak terlihat', maupun rencana penggunaan Pita Merah-Putih yang pernah diusulkan Polri sebagai pembeda, hingga kini tak terealisasi.

Berdasar peristiwa-peristiwa tersebut, AJI Jakarta dan LBH Pers menuntut Polri untuk mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan personel kepolisian terhadap jurnalis dalam peliputan unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja, serta menindaklanjuti pelaporan kasus serupa yang pernah dibuat di tahun-tahun sebelumnya.

"Kami mendesak Kapolri membebaskan jurnalis dan jurnalis pers mahasiswa yang ditahan," tegas Asnil.

AJI Jakarta mengimbau pimpinan redaksi ikut memberikan pendampingan hukum kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan aparat sebagai bentuk pertanggungjawaban. "Kami mengimbau para jurnalis korban kekerasan pun intimidasi aparat agar berani melaporkan kasusnya, serta memperkuat solidaritas sesama jurnalis," kata Asnil. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement