Jumat 09 Oct 2020 14:50 WIB

19 Tahun Perang Berdarah Afghanistan: Betapa Jahatnya Dunia

Rakyat Afghanistan didera penderitaan akibat perang dan konflik selama 19 tahun.

Rep: Fergie Nadira/ Red: Elba Damhuri
 Lokasi ledakan di Kabul, Afghanistan, 09 September 2020. Menurut laporan awal, sedikitnya 2 orang tewas terbunuh dan 12 lainnya luka-luka dalam pengusiran yang menargetkan Wakil Presiden Afghanistan Amrullah Saleh.
Foto: EPA-EFE/JAWAD JALALI
Lokasi ledakan di Kabul, Afghanistan, 09 September 2020. Menurut laporan awal, sedikitnya 2 orang tewas terbunuh dan 12 lainnya luka-luka dalam pengusiran yang menargetkan Wakil Presiden Afghanistan Amrullah Saleh.

IHRAM.CO.ID, KABUL — Afghanistan negeri yang indah, kaya, dan strategis. Pernah menjadi jalur emas ekonomi dunia dan ramai sebagai pusat perdagangan.

Ilmu pengetahuan pernah berkembang maju di sana. Para petualang alam dunia pun menjadikan Afghanistan sebagai tujuan utama perjalanan mereka.

Kini, Afghanistan sangat berbeda. Penjajahan dan perang saudara telah meluluhlantakkan peradaban dan budaya di sana. Perang proksi memaksa Afghanistan menjadi negara dengan tingkat kematian akibat konflik tertinggi.

Setelah 19 tahun sejak Amerika Serikat (AS) turut berperang menyentuh tanah Afghanistan, hingga saat ini perdamaian masih sulit untuk dipahami. Dua hal yang dijanjikan Amerika Serikat sejak dulu setelah invasi ke Afghanistan pada 2001, yakni perdamaian dan kebebasan. 

Afghan Jamal Uddin dengan jelas mengenang malam 7 Oktober 2001 ketika dia melihat penyiar pemerintah Iran mengumumkan penggulingan rezim Taliban garis keras AS di Kabul melalui intervensi militer besar-besaran yang dijuluki Operation Enduring Freedom (OEF). 

Dia adalah seorang pengungsi yang bekerja di sebuah lokasi konstruksi di Teheran untuk menghidupi keluarganya yang berjumlah sembilan orang.

"Kami semua terpaku pada layar televisi karena terkejut saat itu menunjukkan jet menjatuhkan bom di berbagai bagian negara. Saya merasa perang ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat," kata pria berusia 58 tahun itu dikutip laman Anadolu Agency. 

Dia kembali ke Afghanistan pada 2009 untuk memulai hidup baru di bawah rezim yang didukung Barat di Kabul sebagai penjual sayur. Dalam beberapa pekan setelah serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat, pasukan Amerika Serikat mendarat di Afghanistan. Menggabungkan kekuatan dengan Aliansi Utara anti-Taliban setempat, Amerika Serikat melepaskan kekuatan militernya dari udara dan darat untuk merebut Kabul dan kemudian mengusir kelompok garis keras itu keluar dari sebagian besar negara.

"Ini tidak bisa dinegosiasikan," kata Presiden Amerika Serikat George W Bush kala itu. Bush mengatakan hal tersebut pada hari-hari awal OEF ketika Taliban menyerukan solusi yang dinegosiasikan untuk situasi yang muncul setelah serangan 9/11 dan Washington menuntut agar mereka menyerahkan Osama bin Laden.

"Tidak ada yang perlu dinegosiasikan. Mereka menyembunyikan teroris. Mereka perlu menyerahkannya," kata Bush kepada wartawan kala itu.

Setelah dua bulan pengeboman hebat dan serangan darat di seluruh negara pegunungan, kota Bonn di Jerman dipilih untuk menjadi tuan rumah Konferensi Internasional pertama di Afghanistan pada Desember tahun yang sama. 

Ini menghasilkan Otoritas Sementara Afghanistan yang didominasi Aliansi Utara dan dipimpin oleh Hamid Karzai, yang menjadi presiden terpilih pertama Afghanistan pada 2004 dan dia memenangkan masa jabatan kedua pada 2009.

Mantan ekonom dan antropolog Bank Dunia Mohammad Ashraf Ghani menjadi presiden kedua dari pemerintah Republik Islam Afghanistan yang didukung Barat pada 2014 dan dilantik untuk masa jabatan lima tahun kedua pada 2020. 

Tetapi kendali pemerintah Kabul atas negara pegunungan itu tetap ditantang dan dirusak oleh Taliban, meskipun bertahun-tahun militer asing dan dukungan keuangan.

Pada peringatan 19 tahun invasi Amerika Serikat, Taliban mengingatkan Amerika Serikat bahwa mereka seharusnya melakukan dialog saat itu untuk menyelamatkan banyak nyawa dan kekayaan yang hilang dalam perang. 

Dalam pernyataan Taliban, mengatakan, pada saat Taliban pada  2001, pejabat Amerika dengan arogan menolak semua tawaran Imarah Islam (Taliban) dengan cara yang meremehkan dan meluncurkan invasi militer. Taliban mengatakan, 19 tahun kemudian, semua pihak sepakat bahwa masalah tersebut telah diselesaikan melalui dialog.

"Pemahaman seperti yang dianjurkan Imarah Islam sejak awal, dan jika usulan damai Imarah Islam diterima secara positif, maka kita tidak akan mengalami perang yang panjang, kebrutalan dan penganiayaan, pembunuhan, luka-luka dan pemindahan orang-orang kami yang tidak bersalah, dan perampasan yang merajalela, penjarahan, penyuapan, pengkhianatan, kecabulan, pengkhianatan, produksi narkoba endemik dan ratusan kejahatan lainnya," kata pernyataan Taliban yang dikeluarkan juru bicara kelompok itu Zabiullah Mujahid.

Beberapa hari setelah serangan 9/11 di AS, Bush menyatakan dalam pidatonya di televisi bahwa dia memberi para pemimpin Taliban serangkaian tuntutan yang jelas dan spesifik, yakni tutup kamp pelatihan teroris. Serahkan para pemimpin jaringan Alqaeda dan kembalikan semua warga negara asing, termasuk warga negara Amerika, yang ditahan secara tidak adil, yang tidak ditemui. "Dan sekarang, Taliban akan membayar harganya," katanya.

Dulu ada lebih dari 100 ribu tentara Amerika Serikat di Afghanistan. Namun saat ini kurang dari 10 ribu tentara asing menjadi bagian dari misi pelatihan Dukungan Tegas yang dipimpin NATO.

Taliban masih belum mengakui pemerintah Kabul sebagai perwakilan sah rakyat Afghanistan. Presiden Afghanistan Ghani percaya agar perdamaian menang, Taliban harus menyadari dan mengakui realitas Afghanistan modern. 

"Mengapa mereka begitu takut mengumumkan gencatan senjata?" ujar Ghani dalam sebuah konferensi di forum Doha pada malam peringatan 19 tahun invasi Amerika Serikat ke Afghanistan. Ghani meyakinkan Taliban bahwa mereka dipandang sebagai realitas Afghanistan.

"Mereka harus memiliki keberanian bahwa rakyat Afghanistan akan memutuskan masa depan mereka. Perdamaian membutuhkan rasa pengampunan," kata Ghani.

Rakyat Afghanistan ingin perdamaian. Anak-anak Afghanistan ingin pergi sekolah, menjadi seseorang yang mereka impikan.

sumber : Anadolu
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement