Jumat 09 Oct 2020 11:02 WIB

NU Bersikap Soal Fatwa Halal dalam Aturan UU Ciptaker

NU prihatin atas sentralisasi fatwa halal dan haram dalam UU Ciptaker.

Sejumlah mahasiswa melempari petugas polisi saat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di Kota Pekanbaru, Riau, Kamis (8/10/2020).
Foto: FB Anggoro/ANTARA FOTO
Sejumlah mahasiswa melempari petugas polisi saat unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di Kota Pekanbaru, Riau, Kamis (8/10/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, UU Cipta Kerja (Ciptaker) terus menuai kontroversi. Bahkan UU ini ternyata berpengaruh pada soal pengaturan UU halal. Dan adanya soal ini sudah menuasi sikap dari kaum nahdilyin.

Melalui Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj kaum nahdlyin menilai, semangat Undang Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) adalah sentralisasi, termasuk dalam masalah sertifikasi halal. Namun hal itu justru dikhawatirkan menimbulkan monopoli fatwa halal di tengah antusiasme industri syariah Indonesia.

Dalam Pasal 48 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) mengokohkan pemusatan dan monopoli fatwa kepada satu lembaga.  Sentralisasi dan monopoli fatwa di tengah antusiasme industri syariah yang tengah tumbuh, kata dia, dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi.

“Ini (monopoli fatwa halal) dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi,” kata KH Said dalam surat resmi pernyataan sikap PBNU soal UU Ciptaker yang diterima ihram.co.id, Jumat (9/10).

 

Selain itu, dia melanjutkan, negara mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertfikasi halal. Kualifikasi auditor halal sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 adalah sarjana bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian.

Maka menurut PBNU, pengabaian sarjana syariah sebagai auditor halal menunjukkan sertifikasi halal sangat bias industri. Sehingga dia menyebut hal itu seolah hanya terkait proses produksi pangan, tetapi mengabaikan mekanisme penyediaan pangan secara luas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement