Jumat 09 Oct 2020 07:59 WIB

IHW Permasalahkan Self Declare Halal UKM di UU Cipta Kerja

Halal adalah hukum syariah (Islam) yang menjadi domain dan kewenangan Ulama.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Fakhruddin
IHW Permasalahkan Self Declare Halal UKM di UU Cipta Kerja. Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
IHW Permasalahkan Self Declare Halal UKM di UU Cipta Kerja. Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Indonesia Halal Watch (IHW) menilai yang membuat UU Omnibus Cipta Kerja pada klaster Jaminan Produk Halal bermasalah adalah ketentuan mengenai self declare Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Ketentuan ini ada di pasal 4a angka (1) di mana UKM bisa menyatakan sendiri bahwa prodaknya halal.

Isi lengkap Pasal 4a angka 1 itu adalah. "Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil” dan angka duanya "Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH”, telah disahkan DPR pada Senin (5/10) dalam Sidang Paripurna.

"Padahal self declare ini adalah sesuatu yang diharamkan oleh UU JPH, yakni Undang-Undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebelum Ketentuan Omnibus law," kata Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah saat diminta pandanganya terkait UU Omnibus Law Klaster Jaminan Prodak Halal, Jumat (9/10).

Namun, menjadi dihalalkan oleh Omnibus, yang sebenarnya juga melemahkan MUI dan Kementerian Agama (Kemenag). Padahal Kemenag secara struktur dan kelembagaan telah mempunyai organ sampai di tingkat kecamatan di seluruh Indonesia yang bisa diaktifkan dan diberdayakan untuk melakukan fungsi pembinaan, pengawasan dan edukasi kepada UKM.

"Bagaimana tata cara memproduksi barang halal dari mulai pemilihan bahan, proses produksi pengangkutannya, hingga sampai kepada konsumen (halal value chain). Karena halal itu mata rantainya (from farm to fork atau dari ladang sampai ke meja makan, yang harus dijamin kehalalannya. Lalu bagaimana bila halal hanya dinyatakan sendiri oleh pelaku usaha UKM?" katanya.

Ikhsan mengatakan, kita semua faham tidak semua UKM menggunakan bahan produksi yang termasuk kategori positif list seperti bahan-bahan alam misal beras, tepung ketela, sagu. Tetapi banyak UKM yang menggunakan bahan utamanya dari daging, margarin, roombutter dan bahan penolong serta bahan artifisial yang memiliki titik kritis tinggi yang masih harus ditracing kehalalannya. 

"Bila hanya dengan halal self declare, maka akan menjadi tidak jelas kehalalannya," katanya.

Dan yang menjadi persoalan utama, halal itu bukan masalah perizinan yang dalam Omnibus Law dimasukan di dalam kluster perizinan dan kemudahan berusaha. Tetapi halal itu adalah Hukum syariah (Islam) yang menjadi domain dan kewenangan Ulama. 

Kehalalan produk tidak hanya didekati dengan ilmu fiqih tapi juga dengan teknologi, karena di masa kini perkembangan teknologi pangan olahan sudah begitu mutahir yang dapat menjadikan tidak jelas lagi produk yang halal dan yang tidak. Oleh karenanya tetap diperlukan pemeriksaan atas suatu produk sebelum dilakukan penetapan fatwa oleh MUI.

"Jadi halal self declare tidak sejalan dengan maqosid syariah, di samping tidak sesuai prinsip perlindungan konsumen yang menjadi tujuan utama," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement