Jumat 09 Oct 2020 07:22 WIB

UU Ciptaker, BPJPH Bisa Terbitkan Sertifikat Halal Tanpa MUI

Pemerintah sudah masuk ke wilayah agama, sehingga yang jadi ulamanya itu pemerintah.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Fakhruddin
UU Ciptaker, BPJPH Bisa Terbitkan Sertifikat Halal Tanpa MUI. Ilustrasi Omnibus Law Halal
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
UU Ciptaker, BPJPH Bisa Terbitkan Sertifikat Halal Tanpa MUI. Ilustrasi Omnibus Law Halal

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) memungkinkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk langsung menerbitkan sertifikat halal tanpa melewati Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal ini diketahui dalam draf RUU Ciptaker yang telah disahkan menjadi UU.

Pada Pasal 48 Ayat 16 UU Ciptaker, disebutkan bahwa penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI dalam Sidang Fatwa Halal. Sidang ini untuk memutuskan kehalalan produk dengan batas waktu paling lama 3 hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan atau pengujian produk dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Pasal 48 UU Ciptaker itu mengubah ketentuan Pasal 33 dalam UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Semula, dalam Pasal 33 UU JPH, tidak diatur batas waktu penetapan kehalalan produk.

UU Ciptaker juga menyisipkan satu pasal tambahan yakni Pasal 35A di antara Pasal 35 dan Pasal 36 UU JPH. Pasal 35A itu menyatakan bahwa, bila MUI tidak bisa memenuhi batas waktu yang telah ditentukan dalam menetapkan fatwa, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.

Tidak hanya MUI yang diberi batas waktu dalam melaksanakan proses sertifikasi halal, BPJPH juga demikian. BPJPH pada Pasal 48 Ayat 17 UU Ciptaker juga punya batas waktu paling lama 1 hari dalam menerbitkan sertifikat halal sejak fatwa kehalalan produk dikeluarkan MUI.

Direktur Utama Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thayiban (LPH-KHT) PP Muhammadiyah, M Nadratuzzaman Hosen, mengkritik klausul tersebut. Menurutnya, klasul itu berbahaya karena pemerintah, dalam hal ini BPJPH, terkesan ingin mengambil alih penetapan kehalalan suatu produk.

"Ini sangat berbahaya. Karena sudah pemerintah sudah masuk ke wilayah agama, sehingga yang jadi ulamanya itu pemerintah. Pemerintah kan bukan ulama, mengambil alih seperti itu jelas berbahaya. Di sini ada paradoks dan inkonsistensi," tutur dia.

Sebelumnya, Sekretaris Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Lutfi Hamid menanggapi pengesahan DPR terhadap RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Dia mengatakan, RUU Cipta Kerja memberikan dampak positif bagi para pelaku usaha untuk menyertifikasi halal produknya.

 

"UU Cipta Kerja itu memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dan UU itu juga tetap menjaga kehalalan produk yang beredar, yang fatwa halalnya ditentukan oleh MUI, tetapi registrasinya melalui BPJPH," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (6/10).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement