Kamis 08 Oct 2020 23:47 WIB

Nelayan Aceh Memburu Ikan Hingga Dibui di Luar Negeri

51 nelayan itu ditahan di penjara Phang Ngah, Selatan Thailand.

Nelayan Aceh Memburu Ikan Hingga Dibui di Luar Negeri. Nelayan (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Nelayan Aceh Memburu Ikan Hingga Dibui di Luar Negeri. Nelayan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,BANDA ACEH -- Mata Hermanto, 35 tahun, berbinar-binar. Raut kebahagiaan tak bisa disembunyikan ketika kembali menginjakkan kaki di Tanah Rencong, setelah sekitar sembilan bulan meratap nasib di Thailand. Ia bercerita dengan suara parau. Sesekali menyeka air mata yang menetes di pipinya.

Dia salah satu dari 51 orang nelayan asal Provinsi Aceh yang dibui akibat melanggar batas teritorial. Mereka dijatuhkan hukuman penjara oleh otoritas Thailand karena menangkap ikan di wilayah negara itu.

“Yang sangat sedih, sangat stres selama disana, kami enggak tahu anak istri kami makan apa di rumah,” kata Hermanto, di sela-sela penyambutan kepulangan nelayan tersebut di Anjong Mon Mata, Pendopo Gubernur Aceh, Banda Aceh, awal pekan.

Ia warga Desa Meurano, Kecamatan Pereulak Kota, Kabupaten Aceh Timur. Bekerja sebagai anak buah kapal KM Tuah Sulthan. Musibah penangkapan kapal motor mereka di negeri gajah putih itu membuat dirinya sadar bahwa itu adalah cobaan baginya.

Hermanto bersyukur bisa kembali pulang ke Tanah Rencong dalam keadaan selamat, sehingga ia bisa melepas rindu dengan istri dan dua anaknya yang telah lama ditinggal. Bahkan, dua kali lebaran tanpa dirinya; Idul Fitri dan Idul Adha 1441 Hijriah.

Ia berharap peristiwa yang mereka alami tidak terulang kembali dirasakan nelayan Aceh lainnya. Berada di negara orang dengan status tahanan sangat tidak mengenakkan, meskipun diperlakukan baik.

“Jangankan kami (orang luar negeri), orang itu (asli Thailand) sendiri untuk jumpa keluarga saja enggak bisa, kalau disiplin penjara Thailand boleh kita akui, disiplin orang itu. Enggak ada komunikasi sama sekali (dengan keluarga di kampung),” ujarnya.

Perhatikan, jangan sampai melewati perairan orang lain karena sebenarnya di perairan kita ada ikan, cuma namanya ingin mencari lebih, dibalik cari kelebihan itu ternyata bencana bagi kami, kata Hermanto, mengingatkan.

Pengalaman yang sama juga disampaikan Zukifli, 30 tahun, warga Desa Kuta Binjai Kecamatan Julok, Aceh Timur. Saat ditangkap, ia satu kapal dengan Hermanto. Selama ditahan, mereka hanya diberi makan pagi dan sore. Meski tidak dipukul, tapi kadang-kadang mendapat hukuman, squat jump salah satunya.

“Keadaan kami di sana dalam air mata selalu. Hari raya dalam air mata, makan dalam air mata. Kerja sehari-hari minum untuk (pengganti) makanan. Dalam keadaan itu kami hanya bisa berdoa agar bisa segera pulang ke Aceh,” ujarnya.

Seperti diketahui, 51 nelayan tersebut ditangkap dalam dua gelombang, karena melakukan penangkapan ikan di perairan Thailand. Penangkapan pertama pada Januari 2020, yakni sebanyak 30 nelayan dewasa dan tiga orang anak-anak.

Kemudian, penangkapan kedua terjadi pada Maret 2020, diantaranya 21 nelayan dewasa dan tiga orang anak-anak. Namun, untuk enam WNI nelayan di bawah umur itu telah direpatriasi pada 16 Juli 2020.

ICSF apresiasi Kemenlu

International Colective of Fish Worker (ICSF) Perwakilan Indonesia mengapresiasi cara kerja cerdas yang ditunjukkan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia dalam upaya membebaskan 51 nelayan asal Aceh di Thailand.

"Pelepasan 51 nelayan yang diupayakan oleh Kemenlu RI harus diberikan apresiasi karena dilakukan melalui celah hukum di Thailand dengan meminta pengampunan tepat pada hari ulang tahun raja Thailand," kata Anggota ICSF Indonesia M Adli Abdullah.

Selama ini, 51 nelayan itu ditahan di penjara Phang Ngah, Selatan Thailand. Namun, Raja Thailand YM Rama X ulang tahun ke 68 pada 28 Juli 2020 lalu, dan memberikan pengampunan terhadap 51 nelayan itu sebagai terpidana penangkapan ikan ilegal di wilayah teritorial dan ZEE Thailand.

Hal ini memang diatur dalam konstitusi kerajaan Thailand pada pasal 221 dan 225 UUD Thailand dan Pasal 259 hingga 267 KUHP Thailand (BE 2548). Apabila Kemenlu RI tidak menggunakan jalur diplomatik maka mustahil 51 nelayan itu dapat menghirup udara bebas, katanya.

 

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement